Sabtu, 02 Oktober 2010

SIKSAAN DI PENJARA-PENJARA ISRAEL

SIKSAAN DI PENJARA-PENJARA ISRAEL


Taktik intimidasi lainnya terdiri dari penahanan orang Palestina tanpa alasan atau tanpa peringatan penahanan, dan kemudian menuntut mereka dan dengan sengaja menunda pengadilan mereka. Masa penahanan ini kadangkala baru berakhir setelah berminggu-minggu. Sebuah laporan Amnesty International pada tanggal 14 Juni 2000 memberi contoh yang mengejutkan. Menurut laporan tersebut, seorang gadis berusia 15 tahun bernama Suad Hilme Gazal ditahan pada Desember 1998 karena dicurigai menyerang seorang Israel, tapi sewaktu laporan ini diterbitkan, barulah ia dibawa ke hadapan pengadilan Israel.72

Per Agustus 1999, lebih dari 3000 orang Palestina ditahan di penjara-penjara Israel; 1400 dituntut mati. Di samping para tahanan ini, tahanan baru sering diperiksa karena tuduhan ambil bagian dalam berbagai kejadian. Mereka tetap berada dalam keadaan amat mengenaskan, dan kadang-kadang menghabiskan bertahun-tahun dalam penyidikan tanpa mengetahui kapan kasus mereka disidangkan. Ini terjadi pada Ahmad Qatamesh yang meskipun masih belum diputus bersalah setelah 6 tahun, ditahan tanpa tuntutan selama 6 tahun penuh sebelum dibebaskan.73

Selain para tahanan ini, antara 1989 dan 1998 sebanyak 20.000 orang Palestina lainnya ditahan karena dicurigai sebagai “tahanan administratif.” Istilah ini menunjukkan orang-orang yang telah ditahan oleh badan pemerintahan berwenang tanpa dituntut pengadilan. Dan dengan perlakuan ini, Israel dapat menahan orang-orang Palestina tanpa alasan yang adil dan tetap menahan mereka selama bertahun-tahun tanpa memberi informasi pada mereka mengenai tuntutan atau membawa mereka ke hadapan pengadilan. Selama masa ini, para tahanan tak punya hak bertemu pengacara atau keluarga mereka.

Tabel di bawah ini memberikan perincian jumlah orang Palestina yang diperiksa selama Intifadah al-Aqsa dan panjangnya masa tahanan. Bulan Hari Total Jumlah Narapidana dan Tahanan Administratif Jumlah yang Divonis Ditahan untuk Penyidikan Ditahan Hingga Akhir Proses Hukum Tahanan Administratif
Januari 2001 3
4 737
719 571
202 37
5 131
496 -
16
Februari2001 8
15 747
761 557
223 41
8 129
514 -
16
Maret 2001 5
15 751
787 74
248 44
12 132
513 1
14
April 2001 4
11 757
812 572
279 42
16 142
506 1
11
Mei 2001 8
8 725
820 574
302 44
12 151
495 1
11
Juni 2001 10
14 748
823 574
291 39
16 174
504 1
12
Juli 2001 11
17 813
849 582
284 45
21 184
535 1
9



Anak di Bawah Umur di Penjara Israel, 2001

Tanggal Total Divonis Ditahan hingga akhir proses hukum
3 Januari 16 6 10
8 Februari 15 6 9
5 Maret 10 3 7
4 April 10 3 7
8 Mei 9 3 6
10 Juni 16 4 12
11 Juli 16 7 9

Angka-angka ini diterbitkan oleh lembaga hak asasi manusia Israel BT’selem dengan menggunakan data yang diperoleh dari Palang Merah, PBB, dan organisasi lain yang beroperasi di daerah ini.


Orang-orang Palestina secara umum tetap mengalami keadaan tak berperikemanusiaan di penjara- penjara tenda padang pasir. Salah satunya adalah penjara padang pasir Nagev, tempat ratusan orang Palestina ditahan dengan tuduhan yang dibesar-besarkan seperti “merahasiakan dokumen” atau “terlibat.” Semua mereka, meski sudah tua atau sakit parah, mengalami penyiksaan jasmani dan rohani. Tempat penjara dan kesulitan transportasi menuju ke sana .memperburuk keadaan mereka dan juga menyebabkan sangat sulit bagi tahanan untuk menerima kunjungan keluarganya. Tenda-tenda itu tidak dapat melindungi mereka baik dari panas menyengat di musim panas maupun dari dingin membekukan di musim dingin. Bahkan, setelah mereka menjalani vonis penjara, para tahanan kadang-kadang tidak mampu meninggalkannya karena perlakuan yang disebut dengan “pengulangan hukuman.” Seseorang yang telah menyelesaikan hukumannya dan bersiap meninggalkan penjara mendapat perintah di saat-saat terakhir yang isinya ia sekarang akan mulai menjalani hukuman untuk penyerangan yang dilakukannya di masa lalu.74

Baik selama masa penyidikan maupun selama dipenjara, penyiksaan merupakan salah satu teknik yang paling banyak digunakan oleh pemerintah Israel. Teknik penyiksaan Israel yang mengerikan ini muncul ke permukaan melalui penelitian panjang yang diterbitkan dalam harian Sunday Times yang terbit di London pada tahun 1977. Penelitian ini membeberkan kasus-kasus yang tercatat mengenai penyiksaan yang dilakukan oleh pemerintahan Israel.

Menurut laporan tersebut, suatu penyiksaan yang tak pernah terbayangkan dilakukan di penjara Nablus, Ramallah, Hebron, dan Gaza, di sebuah pusat penyidikan di Yerusalem yang dikenal sebagai Moscobiya, dan di penjara-penjara angkatan darat khusus seperti Kfar Yonah, al-Ramle, Sarafand, dan Nafha. Selain penyiksaan terencana, bentuk lain penyiksaan juga meliputi penyetruman arus listrik terhadap alat kelamin, menceburkan tahanan yang ditelanjangi ke dalam air es, menyerang tahanan yang ditutup matanya dengan anjing-anjing yang telah dilatih khusus, menyundut dengan rokok berbagai bagian tubuh, dan mencabut kuku serta gigi-gigi yang masih normal. Anak perempuan para tahanan ada yang ditahan dan diperkosa di depan ayah-ayah mereka. Ada pula ayahnya yang dipaksa untuk menyetubuhi anak perempuannya sendiri.75


Pemandangan di dalam penjara Khiam (bawah) sangat berbeda dengan bentuk luarnya.

Ahli Timur Tengah Robert Fisk menggambarkan tahanan Khiam yang terkenal dan berbagai teknik penyiksaannya dalam sebuah artikel tentang penjara Israel:

Khiam adalah sebuah tempat yang mengerikan. Kabel-kabel listrik ditempelkan pada kelamin dan kaki-kaki, hukuman cambuk rutin dilakukan, di malam yang dingin tahanan diikat ke sebuah tiang sementara seember air yang membekukan disiramkan ke atas tubuh-tubuh yang hampir telanjang… Saya bertemu salah satu tahanan ini baru 10 hari setelah tulisan ini diterbitkan, seseorang yang telah menjalani lebih dari setahun di Khiam. “Ketika mereka menyidik saya, mereka memukul saya di kepala, lalu di punggung dengan sebuah pisau Kalashnikof. Saya terjatuh. Lelaki itu menyepakkan sepatu bootnya di muka saya dan mematahkan sebagian rahang saya. Saya kehilangan pendengaran di bagian telinga kanan. Gendang telinga saya robek… Sekarang saya punya masalah dalam pernapasan dan dokter berkata tidak ada obatnya. Ini adalah masalah yang mengganggu sepanjang hidup saya."76




Tentara Israel tidak kenal kasihan dalam memukul dan membunuh orang Palestina di tengah jalan atau di depan kamera, dan menyiksa orang-orang yang diperiksa. Lembaga-lembaga hak asasi manusia melaporkan tentang kegiatan ini dalam perincian gambar grafis.

Tempat-tempat yang dikenal sebagai kamp-kamp kematian, tempat orang-orang Palestina dibawa setelah ditahan tanpa batas waktu dan sebelum dihadapkan ke depan hakim, telah menjadi pusat-pusat penyiksaan sesungguhnya. Penulis Norman Finkelstein mengutip penjelasan wartawan Israel Ari Shavit mengenai kamp kematian tempat banyak orang-orang Palestina menunggu pengadilan:

Di antara mereka, di sana sini, ada anak-anak laki-laki yang masih kecil dan sangat muda… Penjara ini memiliki dua belas menara pengawas… Shin Bet [dinas investigasi Israel] memberikan [kepada para tentara] sebuah daftar berisi nama-nama teman dari anak kecil itu… Lalu si tentara… keluar hampir setiap malam ke kota dan… kembali dengan anak-anak berusia lima belas atau enam belas tahun. Anak-anak tersebut gemeletuk giginya. Mata-mata mereka cekung. Tak lama mereka sudah mengalami penyiksaan… seorang anak kecil, tanpa alas kaki, terluka, yang menatap seolah menderita ayan, yang berkata pada Anda bahwa mereka baru saja menyiksa mereka di punggung dan perut dan di atas jantungnya. Luka memar di mana-mana di seluruh tubuhnya. Dokter mendekati anak kecil itu dan berteriak padanya. Dalam suara yang keras dan kasar ia berkata: "Semoga kamu mati!” dan kemudian ia mendekati saya sambil tertawa: “Semoga mereka semua mati!"77

PERTAMA, PENAHANAN

LALU, PENYIKSAAN




Bagian tubuh bagian dalam orang Palestina yang terbunuh sering dilenyapkan sehingga bisa digunakan di “pasar organ tubuh.” Anggota parlemen Arab Israel Ahmed Teibi membawa persoalan ini ke hadapan Parlemen. Gambar di atas menggambarkan orang Palestina yang terbunuh di kamp pengungsi Khan Yunis, yang bagian tubuhnya ditemukan hilang selama otopsi.


Salah satu alasan mengapa penyiksaan begitu sering dan lazim adalah karena Shin Bet, dinas keamanan internal, hingga saat ini diizinkan atas dasar hukum Israel untuk menyiksa selama penyidikan. Oleh karena itu pejabat Shin Bet bisa memperlakukan tahanan dengan cara apa pun yang mereka sukai, dan bisa memaksa mereka untuk mengakui kejahatan yang mereka ada-adakan dengan maksud mendapat pengakuan. Menyusul penyidikan dengan penyiksaan ini, vonis penjara yang lama telah menunggu orang yang “mengaku” melakukan kejahatan. Gideon Levy, seorang penulis Israel anti-Zionis, menulis hal berikut ini setelah mengunjungi seorang Palestina yang telah disiksa oleh Shin Bet dan menjalani bertahun-tahun dalam penjara:

Omar Ranimat merasa kesulitan untuk duduk. Ia juga sulit berdiri, berjalan, atau mendaki tangga. Ketika saya bertemu dengannya beberapa minggu yang lalu, dua setengah tahun setelah penyidikannya oleh Shin Bet, yang lamanya 45 hari 45 malam, ia adalah seorang yang cacat… Ranimat dan Ahmed, seperti ribuan orang Palestina lainnya, menjalani perlakuan rutin Shin Bet: “shabah,” “hadiah,” “katak,” larangan tidur, telinga dipasangi alat yang bersuara memekakkan, kantong berbau busuk digantungkan di kepala, kaki diinjakkan di atas buah pelir, dan belenggu yang mengelupaskan kulit di pergelangan tangan dan mata kaki. Sebagian besar tidak punya hubungan dengan perakitan bom.78

Embargo Ekonomi

Salah satu teknik yang digunakan untuk mengintimidasi orang-orang Palestina, khususnya di Tepi Barat dan Jalur Gaza, adalah mempertahankan mereka di bawah tekanan dan tergantung secara ekonomi sehingga mereka tidak dapat berdikari dan hidup dengan layak. Ideologi Zionis menilai bahwa orang-orang Palestina adalah orang-orang yang telah ditakdirkan hidup dalam kemiskinan dan keadaan terkebelakang, sehingga kebutuhan-kebutuhan mereka tak ada artinya bagi Israel. Kenyataan bahwa tidak ada uang yang telah dibelanjakan atas nama mereka di Tepi Barat dan Jalur Gaza, dan bahwa para pemukim Yahudi di wilayah-wilayah tersebut dilengkapi sarana untuk hidup mewah, adalah salah satu bukti keadaan ini.

Misalnya, pemukiman di Gaza menduduki jalur pantai yang luas dan meliputi sebagian besar lahan yang menguntungkan secara ekonomi. Pemukiman-pemukiman ini, yang dikelilingi oleh kawat berduri dan pagar listrik, dinaungi oleh pohon-pohon dan tumbu-tumbuhan, dan mendapat keuntungan dari bangunan-bangunan umum serta kegiatan perdagangan. Di pihak lain, pemandangan di dekat kamp-kamp pengungsi Palestina justru meluluhkan hati. Sekitar 4000 pemukim Yahudi memanfaatkan sebagian besar air yang jumlahnya sudah terbatas di wilayah padang pasir ini untuk pertanian dan manfaat seperti danau buatan di depan sebuah hotel mewah, sementara orang-orang Palestina hanya diizinkan untuk mencari air yang mungkin masih bisa mereka peroleh dari sumur-sumur kering sekitarnya.79


Israel menutup sumber air Palestina di Hebron, dengan menyatakannya sebagai miliknya. Dengan membongkar sumber irigasi petani Palestina, Israel mengantar mereka ke pinggir jurang kejatuhan ekonomi. Di kanan adalah petani Palestina yang menderita kejadian ini.

Wartawan Israel dan koresponden militer Ze’ev Schiff menggambarkan kebijakan Jalur Gaza Israel pada bulan Maret 1993:

Kita terus menerus mencuri air di Jalur ini, sekalipun mutunya merosot dari tahun ke tahun, mencuri sumber-sumber daya yang amat langka di Jalur ini, untuk mendirikan lebih banyak pemukiman [Yahudi], seolah kita dengan sengaja ingin membuat para penduduknya putus asa, sehingga dalam keputusasaan mereka berbuat tanpa pikir panjang lagi.80

Strategi Israel lainnya untuk memaksa orang-orang Palestina terpojok adalah merampas kekayaan pertaniannya dengan membangun pemukiman-pemukiman di sebagian besar lahan yang subur. Dengan cara ini, pemerintah Israel menghalangi usaha orang Palestina untuk meneruskan kegiatan pertaniannya yang memang telah sulit, sehingga membuat mereka putus asa dalam mencari kehidupan. Salah satu contohnya adalah hambatan untuk menangkap ikan, yang cuma satu-satunya sumber pendapatan bagi banyak orang Palestina di Jalur Gaza. Lebih jauh lagi, serangan besar-besaran para tentara dan pemukim terhadap lahan pertanian Palestina menyebabkan tingkat panen dan pendapatan yang rendah. Peraturan perundang-undangan baru seperti memberi hak bagi perantara Israel untuk menjual semua yang dipanen di Israel atau hanya mengizinkan perusahaan Israel untuk mengekspor hasil bumi, juga menciptakan rintangan ekonomi yang luas. Misalnya, para produsen Palestina tidak dapat lagi menjual hasil bumi mereka langsung kepada pembeli. Di Gaza, misalnya, pembatasan ketat ditetapkan untuk ekspor jeruk, sumber utama pendapatan, yang berarti bahwa lebih dari setengah tanaman petani membusuk dan harus dimusnahkan. Seperti yang dilaporkan oleh Danny Rubinstein, seorang wartawan kawakan Israel yang menulis untuk Ha’aretz, “Dengan dilarangnya penangkapan ikan dan berkurangnya pengelolaan jeruk sitrun, penduduk Jalur Gaza dipaksa untuk mengandalkan pekerjaan dengan suasana yang tidak besahabat dan upah yang mengenaskan di Israel atau menjadi karyawan pemasok untuk industri Israel melalui wanita dan anak-anak yang bekerja di rumah, seperti yang terjadi di hari-hari ini dalam revolusi industri."81


Sekali lagi, warga sipil membayar harga embargo ekonomi Israel.

Dikutip dari Sara Roy, seorang peneliti Gaza, Noam Chomsky menggambarkan tujuan utama kebijakan Israel:

Tujuannya, disimpulkan oleh Roy dan pengamat lainnya, adalah memecah Gaza menjadi perekonomian “tanaman cabang” yang dirancang “untuk memenuhi kebutuhan Israel… terutama,” dengan diteruskannya kendali Israel atas tanah, pembagian air atas wilayah, dan berbagai pembangunan yang mungkin akan dilakukan di wilayah-wilayah ini yang diserahkan pada pemerintahan otonomi (Israel) setempat.82



Sementara jumlah tanah yang dapat ditanami di bawah kendali Israel meningkat setiap hari, lahan pertanian orang Palestina dirampas oleh pemerintah Israel dan dijadikan jalan-jalan.

KESEJAHTERAAN ISRAEL


Daerah yang didiami oleh orang-orang Israel berciri kesejahteraan dan kemajuan seperti kota-kota Eropa. Gedung-gedung pencakar langit, pelabuhan, hotel mewah, jalan-jalan besar, dan pusat perbelanjaannya dibangun di atas tanah rampasan dari Palestina.

KEMISKINAN RAKYAT PALESTINA


Rakyat Palestina dibatasi dengan kekuatan Israel hidup dalam gaya hidup ala pertapaan di tanah tandus tanpa prasarana, di mana tidak ada investasi atau pembangunan diizinkan.

ISRAEL



Di satu sisi adalah orang-orang Israel, yang hidup dalam kedamaian dan kemewahan. Di pihak lain adalah orang-orang Palestina, yang berusaha bertahan hidup, berjuang dengan kelaparan, rasa haus, keadaan hidup yang tak sehat, dan serangan Israel.

PALESTINA



Karena pabrik-pabrik di Jalur Gaza dan daerah-daerah kantong di Tepi Barat menawarkan tenaga kerja yang amat murah dan dengan mudah dimanfaatkan, membuat wilayah ini terus bergantung secara ekonomi kepada Israel adalah bagian penting dalam kebijakan Israel. Perekonomian Palestina telah sangat menderita karena jam malam dan pemblokiran di kamp-kamp yang dikenakan oleh orang Israel semenjak intifadah al-Aqsa akhir-akhir ini. Menurut suatu laporan PBB yang diterbitkan pada 5 Desember 2000, pelarangan Israel atas pergerakan pekerja Palestina dan barang-barang menyebabkan kerusakan senilai lebih dari $500 juta terhadap perekonomian Palestina. Fakta lain yang tidak disebutkan dalam laporan itu adalah bahwa sektor petanian merugi $120 juta karena tentara Israel tidak akan mengizinkan petani Palestina memanen dan menjual tanaman mereka. Orang-orang Palestina ditindas oleh kekuatan militer di satu pihak, dan dirampas haknya untuk hidup dengan tekanan ekonomi di pihak lain.

Pembakaran Kebun Zaitun

Selama berabad-abad, kebun zaitun liar menjadi salah satu sumber utama pendapatan orang Palestina. Namun begitu mereka harus meninggalkan rumah-rumah dan segala yang mereka miliki, mereka juga terpaksa meninggalkan kebun zaitunnya dan pindah ke tempat lain. Banyak dari kebun-kebun ini, yang terdiri atas pohon yang tumbuh dari abad ke sembilan belas dan beberapa di antaranya tumbuh belakangan, telah dimusnahkan. Beberapa lahan pertanian kecil yang masih dimiliki orang Palestina sering mendapat serangan oleh para pemukim Yahudi, yang membakar dan memangkas semua pohon yang bisa mereka temukan. Keadaan ini digambarkan dalam majalah The Washington Report on Middle East Affairs:

Ribuan pohon zaitun juga dimusnahkan. Orang Palestina yang mengandalkan kehidupannya dari kebun-kebun ini untuk keluarganya secara turun temurun menyaksikannya dirambah di suatu sore oleh tentara-tentara Israel dan para pemukim yang dipersenjatai dengan gergaji mesin.83


Kebun-kebun zaitun rakyat Palestina semakin menyempit setiap hari karena pendudukan Israel.

Selama Intifadah pertama, antara 1988 dan 1992, tentara Israel merambah 90.000 pohon zaitun dengan dalih anak-anak yang suka melempar batu bersembunyi di dalamnya. Antara 1993 hingga Agustus 2001, Negara Israel telah mencabut 280.000 pohon buah dan zaitun yang dimiliki orang Palestina di Tepi Barat saja. Di tahun 2001 saja, Negara Israel mencabut 23.551 pohon zaitun dan buah.84


Dunia mengabaikan rakyat Palestina, yang keinginannya hanyalah hidup
yang memungkinkan mereka beribadah dengan bebas, hidup damai dalam rumah mereka, menyekolahkan anaknya, dan melakukan usaha
dengan aman.
Bahkan, para pekerja kebun zaitun, yang biasanya para wanita dan anak-anak seringkali ditembaki oleh helikopter tempur Israel. Sebagian besar orang Palestina yang telah diserang ini ketika mencoba memanen zaitunnya tidak pernah lagi mengunjungi kebunnya. Para tentara yang menembaki para pekerja ini tak punya alasan yang jelas untuk melakukannya, mengingat para pekerja itu tidak pernah melempar batu pada para tentara Israel maupun ikut berdemonstrasi. Mereka hanya mencoba mencari nafkah dengan bekerja di tempat-tempat sempit di tanah yang masih mereka miliki. Karena beberapa alasan, pemerintah Israel bahkan tidak mengizinkan hal itu. Seperti yang mereka alami dalam berbagai segi kehidupan sosial mereka, orang Palestina juga menghadapi hambatan yang hampir tidak dapat diatasi atas kehidupan ekonomi mereka.: mereka tidak diizinkan bahkan untuk merawat tanaman mereka sendiri.

Jika kita merenungkannya dalam bingkai yang lebih besar lagi, akan jelas bahwa penghancuran kebun zaitun atau daerah pertanian lainnya bukanlah suatu perbuatan tak terencana, karena ini justru bagian dari strategi menyeluruh Israel, mengingat diperlukan 6 hingga 7 tahun agar pohon baru dapat menumbuhkan zaitun. Sebaliknya, orang-orang yang tanamannya terus dimusnahkan, akhirnya tidak mampu mencari penghidupan, dan daripada berkecimpung dalam pertanian, mereka mulai mencari pekerjaan sebagai buruh. Dengan cara ini, penduduk desa di Palestina dialihkan dari satuan pertanian yang produktif menjadi sumber daya manusia yang murah untuk industri Israel.

Sepanjang sejarah, para pemimpin yang otoriter dan menindas telah melakukan jenis penindasan dan kekejaman seperti itu pada masyarakat lain. Seperti halnya diktator kejam, raja yang lalim, dan pemimpin rasis di zaman sekarang, mereka melakukan kekerasan, penyiksaan, dan penindasan atas orang-orang yang berada di bawah perintah mereka. Dan seperti dinyatakan oleh Allah, begitu orang-orang “penabur permusuhan” ini berkuasa, mereka akan terus melakukan penyiksaan fisik terhadap bawahan mereka dan melakukan upaya khusus untuk memusnahkan “hewan-hewan dan tanaman-tanaman” mereka. Dengan kata lain, tepat seperti yang telah dilakukan pemerintahan Israel saat ini, mereka dengan terencana menggunakan segala teknik untuk menghancurkan seseorang. Cara ini digambarkan di dalam Al-Qur’an:

Dan apabila ia berpaling (dari kamu), ia berjalan di bumi untuk mengadakan kerusakan padanya, dan merusak tanam-tanaman dan binatang ternak, dan Allah tidak menyukai kebinasaan. (Qur'an, 2:205)

Teknik serupa bisa disaksikan saat ini dalam cara-cara yang paling sering dilakukan pada Palestina. Pemerintah Israel melakukan sebuah program terencana untuk membersihkan etnis, dan pada saat bersamaan meratakan seluruh kegiatan pertanian Palestina dengan tanah. Dalam lingkungan seperti ini, ketika perdamaian dan keamanan tidak terlihat, hambatan-hambatan ini akan lebih tersebar luas. Akan tetapi Allah tidak menyukai penyelewengan dan Dia mengajak seluruh manusia untuk "masuk secara menyeluruh ke dalam Islam (perdamaian)" (Qur'an, 2:208).

Pemusnahan Rumah-rumah


Berusia 58 tahun, Mohana hidup sendirian di sebuah bis rusak yang dikelilingi oleh lubang-lubang kawat berduri, di antara para tetangga barunya yang masih belum mengetahui namanya. Pada tahun 1984, ketika saluran penghubung Gilo yang disebut Metzpe Bethlehem tengah dibangun, Mohana kembali dari pasar Bethlehem bersama ayahnya, seorang penjahit bernama Salman, dan melihat bulldozer tengah meremukkan rumah dua lantainya. Saat itu, sebagian besar tanah milik Mohana secara diam-diam diambil alih oleh Pemerintah Kota Israel meski ia masih memiliki kepemilikan dengan bukti surat tanah Ottoman dan Yordania di pengadilan Israel. Pemerintah kota Israel itu kemudian meminta maaf bahwa pemusnahan itu adalah sebuah kesalahan, namun hanya memberi ganti rugi untuk Mohana sebuah bis rusak dan menghalanginya membangun bangunan apa pun selain sebuah bilik kayu yang saat ini ia gunakan untuk gudang dan sebuah kamar mandi di luar.85

Kutipan di atas hanyalah salah satu dari yang mungkin dialami oleh ratusan penduduk di tanah Palestina. Dalam peristiwa itu, sebagian besar dari ratusan orang Palestina yang kembali dari rumahnya dari pasar-pasar dan menemukan rumah-rumah dan hak miliknya dimusnahkan tidak cukup beruntung sekalipun hanya mendapat sebuah bis rusak. Pemerintah Israel tidak menghentikan usahanya pada pemusnahan rumah melalui perintah pengambilalihan saja ketika penduduknya tidak ada di rumah. Banyak rumah-rumah orang Palestina itu yang dibom dan diratakan dengan tanah dengan penghuninya masih berada di dalamnya.



Polisi Israel hanya memberi waktu warga Palestina 15 menit untuk mengosongkan rumahnya, tempat mereka hidup selama bertahun-tahun, untuk kemudian dimusnahkan. Rakyat Palestina telah menderita kebijakan yang kejam ini selama 50 tahun. Dalam 10 tahun terakhir saja, hampir 3000 rumah telah dimusnahkan.


Orang-orang Palestina tak punya hak untuk berkeberatan ketika tentara Israel datang untuk memusnahkan rumah-rumah mereka. Yang bisa mereka lakukan adalah mengumpulkan sebanyak mungkin yang bisa mereka bawa dan menyelamatkan diri.

Harian Turki AKIT, 10 Juli 2001
YAHUDI MENGAMUK, MELAKUKAN PENGHANCURAN
Didukung oleh ratusan tentara, negara teroris Israel telah membongkar delapan rumah yang dimiliki rakyat Palestina. Dilaporkan bahwa pemerintah Zionis melakukan operasi ini untuk mempertahankan kecilnya jumlah rakyat Palestina di Yerusalem.

Harian Turki MILLI GAZETE, 12 Juli 2001
KEKERASAN ZIONIS BERLANJUT TERUS DENGAN CEPAT
Tidak mendengar protes masyarakat internasional, pemerintahan Sharon melanjutkan menyebar teror.

Harian Turki RADIKAL, 11 Juli 2001
PENGHANCURAN TERENCANA
Selagi Israel melanjutkan kebijakan penghancurannya, kemarin telah dirobohkan 26 rumah dan 12 toko di kamp pengungsi Rafah. Bentrokan terbrutal semenjak gencatan senjata pun pecah.

Harian Turki YENI ASYA, 10 Juli 2001
RUMAH-RUMAH PALESTINA DIRATAKAN DENGAN TANAH
Harian Turki SABAH, 3 Mei 2001
BULLDOZER MENYERANG RUMAH-RUMAH DI GAZA Harian Turki YENI MESAJ, 10 Juli 2001
SEWAKTU PENYERANGAN TENTARA ISRAEL ATAS WARGA PALESTINA BERLANJUT, TENTARA ISRAEL TELAH MEMUSNAHKAN RUMAH-RUMAH PALESTINA DI YERUSALEM.
Harian Turki YENI MESAJ, 10 Juli 2001
ISRAEL MEMUSNAHKAN RUMAH-RUMAH PALESTINA





W. REPORT, DES.97 BORNEO BULLETIN, 25 Agustus 2001


W. REPORT, DES.98
Media berkala Borneo Bulletin menyebut perbuatan Israel memusnahkan rumah-rumah Palestina dalam artikelnya “Israel Bares its Teeth (Israel Unjuk Gigi)” (Atas). Sebuah artikel yang diterbitkan majalah Washington Report on Middle East Affairs pada tahun 1998 melaporkan tentang berondongan tembakan Israel atas demonstran Arab (bawah).


Menurut sebuah laporan Amnesty International yang diterbitkan pada 14 Juni 3000, selama awal 1987 hingga Januari 1999, sebanyak 2650 rumah yang dimiliki orang Palestina di Tepi Barat dan Yerusalem dimusnahkan, menyebabkan 16.800 orang (7300 di antaranya anak-anak) menjadi tuna wisma. Menurut laporan ini, kegiatan ini tak terungkap bahkan setelah Kesepakatan Oslo ditandatangani oleh Otoritas Palestina dan Israel.86

Perlu dicatat bahwa Israel tidak memberi peringatan pendahuluan sebelum memusnahkan sebuah rumah keluarga Palestina. Mula-mula rumah yang akan dimusnhakan itu dikepung oleh beberapa bulldozer dan tentara Israel yang dilengkapi dengan senjata modern. Kemudian, pemilik rumah ini diberi waktu 15 menit untuk mengemasi barang-barangnya. Setelah itu, para tentara masuk ke dalam dan melemparkan semua sisa barangnya ke jalanan dan lalu merobohkan rumah itu dengan bulldozer-bulldozer itu. Jika para pemilik rumah memberi perlawanan, mereka dipukul dengan kejam dan kadang-kadang ditembaki oleh tentara Israel.

Misalnya, pada Januari 1999, ketika beberapa orang Palestina di Eizriya, sebuah desa di dekat Yerusalem memprotes pemusnahan rumah-rumah mereka, tentara Israel menembaki mereka. Zaki Ubeyd, lelaki berusia 28 tahun, terbunuh. Menurut laporan Amnesty International, ia terbunuh oleh sebuah tembakan di belakang kepalanya dari jarak dekat. Ini menunjukkan bahwa pembunuhan itu bukanlah kecelakaan, melainkan dilakukan dengan sengaja dan sadar.

Jurus Israel lainnya adalah memberi surat kepemilikan rumah sementara pada warga Palestina, khususnya yang tinggal di Yerusalem Timur, dan kemudian mempersulitnya memperbarui surat tersebut ketika telah habis masa berlakunya. Dengan cara ini, orang-orang Palestina diusir dari tanahnya satu demi satu. Mereka yang kehilangan hak miliknya juga kehilangan keamanan sosial mereka, sehingga terpaksa untuk terusir. Informasi yang didapat dari Kementerian Dalam Negeri Israel menyebut bahwa pada tahun 1996 saja, sebanyak 1641 orang Palestina dan keluarganya kehilangan hak tinggal di Yerusalem.87

Pada tahun 2001, kegiatan Israel yang dirancang untuk mengusir orang-orang Palestina dari rumah dan tanah mereka berlanjut dengan pesatnya. Dalam artikelnya “Easter in the Holy Land: Families Watch as Their Homes are Destroyed (Di sisi Timur Tanah Suci: Keluarga-keluarga Menyaksikan Rumah-rumah Mereka Dirobohkan),” Robert Fisk menggambarkan perkembangan yang terjadi selama April 2001:

Salah satu hari tersuci di Timur Tengah, bagaimana kita menuliskan pemusnahan Israel yang ceroboh ini terhadap rumah-rumah di Gaza?… Tak perlu menyebutkan 35 orang yang terluka, anak kecil dengan kaki terpotong oleh rudal Israel, remaja dengan tulang engsel bergeser di pundaknya dan mati rasa di tangan kirinya, melambai-lambai putus asa ke arah saya dari ranjang rumah sakit. Apakah sebuah tragedi atau kejahatan perang-kah, serangan sengaja atas rumah-rumah orang-orang sipil?…

Kebohongan besar pertama pada akhir pekan ini, bagaimanapun, datang dari tentara Israel, yang sambil tersenyum mengumumkan bahwa pemusnahan rumah-rumah orang Palestina di Rafah tidak lebih dari “kegiatan pembangunan” dan semua rumah-rumah yang oleh tank-tank dan bulldozer dijadikan reruntuhan ini tidak ada penghuninya. Ini sepenuhnya bohong karena orang-orang Israel yang melakukan penghancuran massal atas rumah-rumah itu, amat mengenalnya. Ketika tank pertama menyerbu melewati dinding pembatas sebelum senja Sabtu, menembakkan rudal-rudal penghancur ke dalam blok rumah susun terdekat meskipun ada sebuah pasar kecil terbuka sejauh 300 meter tempat ratusan laki-laki, wanita, dan anak-anak berlarian sambil menjerit ke jalanan terdekat… Media barat berupaya keras mengecilkan kejadian ini… Semua ini, menurut orang Israel seperti halnya pemusnahan lebih dari 30 rumah di Khan Younis minggu lalu, adalah atas nama “keamanan."88

Seluruh kejadian dan informasi di atas menunjuk pada satu fakta yang nyata: sasaran utama seluruh kekejaman ini adalah orang-orang Palestina. Dan sebagian besar orang-orang Palestina diusir dari rumah mereka hanyalah karena mereka adalah kelompok atau suku bangsa yang berlainan. Dan lagi-lagi karena alasan ini, Israel mencoba memusnahkan mereka. Semua yang telah dilakukan orang-orang Palestina untuk menghadapinya adalah berusaha dan melindungi Tanah Suci yang menjadi milik mereka selama ribuan tahun, dan yang telah diwariskan kepada seluruh dunia Islam. Bahkan, seluruh orang Islam berkewajiban untuk mengemban tanggung jawab ini. Seluruh orang yang sadar yang melihat apa yang terjadi di sini, khususnya orang-orang Islam yang mengetahui dan mengikuti etika Al-Qur'an, memiliki tanggung jawab besar. Kekejaman terencana ini, meskipun terjadi di hadapan mata dunia, hanya dapat diakhiri oleh orang-orang Islam yang ikhlas dan nilai-nilai keagamaan yang mengikat mereka pada tempat ini.

Pemutarbalikan Kenyataan oleh Media Barat

Mengapa kebijakan pendudukan dan pengusiran penduduk oleh Israel ini tidak dapat dihentikan? Mengapa masyarakat internasional tidak menggunakan kekuatannya untuk membujuk Israel menjalankan kebijakan yang manusiawi dan berkeadilan? Jawabannya memiliki beberapa sudut pandang, dan salah satunya adalah pemutar balikan di beberapa bagian berita oleh media Barat dalam kasus Palestina ini. Seperti dijelaskan Edward Said dalam Covering Islam, sebagian besar wartawan dan komentator Barat melihat Timur Tengah dengan pendapat klise, di mana “terorisme” selalu dihubungkan dengan dunia Islam Arab dan tidak pernah mengaitkannya dengan Israel.

Kesalahan penafsiran ini begitu nyata mengingat beberapa kantor berita yang melaporkan kejadian di Palestina menganut suatu gaya dan kosa kata yang memihak Israel. Misalnya, ketika memberi laporan berita tentang Palestina, Anda jarang menemui kalimat “daerah yang diduduki oleh Israel” atau “Daerah Pendudukan.” Begitulah, ketika laporan berita menyebutkan serangan Israel, kata “pembalasan Israel”lah yang digunakan dalam hal ini. Ini memberi pembaca pandangan berikut: “Mula-mula orang Palestina yang menyerang, Israel hanya membalas untuk mempertahankan diri."

Salah satu kalimat yang paling sering dimunculkan dalam media Barat menggambarkan contoh-contoh tentang tentara Israel yang membunuh anak-anak Palestina: Seorang anak Palestina meninggal selama tembak-menembak.” Ini membawa pesan: “Jika orang-orang Palestina tidak terlibat dalam perbuatan membabi buta, anak-anak ini tidak akan mati.” Padahal, koresponden Timur Tengah untuk surat kabar The Independent Robert Fisk menekankan apa yang dimaksud dengan “tembak menembak” ketika Israel terlibat: "Ketika saya membaca kata ‘tembak menembak,’ saya mencari-cari bolpen. Di Timur Tengah, ini hampir selalu berarti bahwa orang Israel telah membunuh seorang tak bersalah."89 Selama media Barat terlibat, orang-orang Palestina selalu mati dalam “tembak menembak.” Maksudnya di sini adalah menghindarkan kenyataan bahwa penembak Israel memang sengaja menembak orang Palestina dan menembak dengan maksud membunuh.

Pengaruh ini digambarkan saat ini oleh banyak ahli politik dan ahli masalah Timur Tengah. Sikap ini, yang mengabaikan orang Palestina yang menderita dan kebrutalan orang Israel dan mencoba membuat Israel terkesan tak berdosa mengemuka hampir di tiap negara, khususnya di Amerika. Fisk membahas ini dalam artikelnya “I Am Being Vilified for Telling the Truth About Palestinians” (Saya Sedang Difitnah Jika Menceritakan Kebenaran Tentang Orang-orang Palestina":

Akan tetapi, pelecehan dan ancaman sesungguhnya yang saat ini diarahkan pada setiap akademisi, penelaah, atau wartawan yang berani mengkritik Israel (atau berani menyebutkan kebenaran tentang pemberontakan orang-orang Palestina) akan menemui ironi McCarthyisme (dianggap makar). Ambillah Edward Said, akademisi Palestina yang cemerlang, yang merupakan seorang profesor pada Columbia University.


Jalanan Palestina dipenuhi seruan “Bunuh Semua Arab."

Ia tengah menghadapi pelecehan tak hormat oleh Organisasi Zionis Amerika, yang tahun lalu menuntut agar ia dipecat dari Modern Language Association dan tuntutan itu sekarang hampir tiap hari disuarakan agar gelar profesornya dicabut dari Columbia, terutama karena ia membeberkan, dengan tepat dan menyakitkan, dengan gigih dan membuktikan, tragedi sejarah direbutnya Palestina, kebrutalan pendudukan Israel yang berkelanjutan, dan bangkrutnya kesepakatan “damai” Oslo… Terlalu jujur. Noam Chomsky, yang juga seorang Yahudi, adalah salah satu ahli filsafat paling terkemuka pada zaman ini, namun kajian pedasnya atas pendudukan Israel dan dukungan buta dan tanpa syarat dari Amerika terhadap Israel menyebabkan pelecehan yang jauh lebih menyakitkan lagi terhadapnya... Pengabaian para ahli Timur Tengah saat ini sangat gencar di Amerika Serikat sehingga hanya sedikit saja berita surat kabar yang berlawanan sudut pandang dengan Israel. Anda tidak akan menemukan Chomsky di New York Times. Ini dijelaskan oleh Charlie Reese dalam edisi terbaru Orlando Sentinel dengan tajam (catat kota penerbitannya yang “panas”, dalam hal masyarakat Yahudinya) ketika ia menulis bahwa “Orang-orang Palestina tidak akan mendapatkan kemerdekaannya hingga orang-orang Amerika sendiri merdeka. Tapi usaha untuk menekan media agar menghormati aturan Israel sekarang telah mendunia. Kita harus mengatakan bahwa Israel-lah yang tengah dikepung oleh orang Palestina (bukan mereka yang tengah menduduki tanah Palestina), bahwa orang-orang Palestina bertanggung jawab atas kekerasan (meskipun orang-orang Palestinalah korban utamanya), bahwa Arafat melanggar kesepakatan damai di Camp David (meskipun ia hanya ditawarkan 60 persen dari tanahnya, bukan 94 persen), dan bahwa orang-orang Palestina gemar mengorbankan anak-anak mereka (bukan pertanyaan mengapa orang-orang Israel menembaki begitu banyak anak-anak Palestina).90

Seperti digambarkan oleh Fisk, sebagian besar kantor media Barat tidak ragu melaporkan berita palsu ketika pokok pemberitaannya adalah Israel. Kenyataan sebenarnya disembunyikan dengan hati-hati. Operasi, pembunuhan, pengeboman, pendudukan, pengusiran, dan ratusan jenis kekejaman Israel lainnya diabaikan di media Barat atau dilaporkan dengan cara agar Israel terlihat tak dapat disalahkan. Israel masih negara agresor yang menduduki tanah yang bukan miliknya, dengan melanggar mandat PBB. Tapi Israel justru diceritakan pada dunia sebagai “wakil perdamaian dan stabilitas di Timur Tengah."

Ketika membaca laporan berita palsu dan salah informasi tentang Intifadah al-Aqsa terakhir ini, Fisk tidak tahan lagi dan menanyakan: "Mengapa kita selalu berlarut-larut dalam kebohongan yang sama? Tidakkah para wartawan membawa-bawa buku sejarah, bahkan lembar-lembar dokumen, untuk mengingatkan mereka tentang apa yang telah mereka tulis dalam perang Arab-Israel terakhir? Bahkan kutipan, pernyataan yang dibuat-buat, penuh gambaran klise, itu tetap sama saja bunyinya."91

Bahkan ketika Israel meningkatkan penggunaan kekerasan dan teror, pers Barat menunjukkan posisi pro-Israel secara terang-terangan, tak mampu menemukan penjagal orang sipil tak berperikemanusiaan yang pantas diberitakan. Dan malah, beberapa surat kabar bertindak seolah menjadi juru bicara Israel, menawarkan pada orang-orang yang secara pribadi melakukan pembantaian untuk menjadi kolumnis, sehingga menerbitkan versi kejadian yang murni diputarbalikkan. Noam Chomsky menggambarkan bagaimana, pada tahun 1986, New York Times menampilkan Ariel Sharon, yang kemudian menjadi Perdana Menteri Israel, dan dikenal sebagai “Penjagal dari Libanon” sebagai “ahli berita teror” mereka:

New York Times mengundang seorang ahli masalah terorisme untuk menawarkan pemikirannya tentang bagaimana mereka menghadapi wabah teror… Editor Times memberikan judul untuk artikel (dari sang ahli) ini: ”It’s Past Time to Crush The Terrorist Monster (Meremukkan Monster Teror itu Sudah Menjadi Masa Lalu),” dan mereka mencetak tebal kata-kata: “Hentikan pembantaian atas [orang-orang Israel] tak bersalah.” Mereka menyebut si penulis hanya sebagai “Menteri Perdagangan dan Industri Israel.” Namanya adalah Ariel Sharon. Karier terorisnya, yang bisa dirunut dari awal 1950an, meliputi penjagalan 69 desa di Qibya dan 20 di kamp pengungsi al-Bureig pada 1953; operasi teroris di wilayah Gaza dan timur laut Sinai pada awal 1970an meliputi pengusiran sekitar sepuluh ribu petani ke padang pasir, rumah-rumah mereka dirobohkan, dan tanah pertanian dibumihanguskan untuk mempersiapkan pemukiman Yahudi; penyerangan Libanon yang dilakukan dengan maksud, seperti yang sekarang telah diketahui luas, untuk mengatasi ancaman diplomasi PLO; pembantaian berturut-turut di Sabra dan Shatilla; dan lainnya… Dalam suasana moral dan intelektual seperti ini, mungkin sepantasnya surat kabar terbesar di dunia itu memilih Ariel Sharon sebagai guru mereka tentang kejahatan terorisme dan bagaimana membasminya.92

Sebagian besar media Barat menerapkan teknik yang sangat sederhana ketika melaporkan tentang Palestina: Mereka mendengar pernyataan resmi Israel, memberi ruang untuk komentar sang Perdana Menteri, dan menghiasi beritanya dengan komentar dari sumber-sumber berita Israel. Grace Halsell, juru bicara Presiden Lyndon Johnson selama hampir 3 tahun, adalah kolumnis yang bertaraf internasional dan ahli masalah Timur Tengah. Dalam satu artikel ia menggambarkan bagaimana media barat melaporkan kejadian di Israel:

Polisi, kata orang Israel, menggunakan amunisi aktif atas orang Palestina hanya setelah orang Palestina mulai menyerang orang Yahudi yang tengah beribadah. Tanpa pengecualian, media Barat pun melaporkan ini sebagai penjelasan Israel yang “resmi.”.


Namun sekarang, laporan saksi mata, laporan dari kelompok hak asasi manusia Palestina dan Yahudi, serta tiga kaset video, mengungkap bahwa versi Israel ini palsu. Seluruh bukti pendukung yang tersedia membenarkan tuduhan Arab bahwa polisi Israel memulai bentrokan dan kemudian menembaki orang-orang Palestina dengan darah dingin.

Pada 9 November, setelah perwakilan Dewan Keamanan PBB melihat satu dari kaset video ini, duta besar Sovyet, Yuli M. Vorontsov, mengatakan dokumen yang difilmkan itu telah mementahkan pernyataan Israel bahwa orang Palestina memicu kekerasan…

Komisi beranggotakan tiga orang Israel kemudian mengeluarkan laporan yang menegaskan pernyataan “resmi” Israel bahwa orang-orang Palestina telah memulai bentrokan…

Komisi ini juga mengkritik Aryeh Bibi, atas tuduhan melakukan pembunuhan… Pendeknya, setelah itu, pejabat Israel memanggil Bibi dan mengatakan ia telah dipromosikan menjadi komandan penuh pada Divisi Sumber Daya Manusia Polisi Israel. Apa pun dorongannya, promosinya, yang tidak hanya meningkatkan pangkatnya, namun juga gajinya, akan memberi dorongan pada polisi lain bahwa, secara resmi, mereka “dibayar” untuk menembak orang Palestina…

Bahkan, media Amerika Serikat, yang mempunyai beberapa lusin penulis yang berkantor di Israel, hanya sedikit atau tidak berusaha sama sekali untuk memahami dan melaporkan arti dari serangan-serangan ini. Mereka hanya sedikit atau tidak melakukan penyelidikan sama sekali dalam pelaporan, melainkan segera menerima saja penjelasan “resmi” dari kejadian yang diberikan kepada mereka oleh orang-orang Israel.93

Tapi kita harus ingat bahwa tanggung jawab atas kekejaman yang tengah terjadi di Palestina tidak hanya diemban oleh orang-orang yang benar-benar melakukannya, melainkan juga pada mereka yang menanggapinya dengan diam seribu bahasa atau mendukungnya secara tak langsung. Seperti yang kita baca dalam Al-Qur'an, "... (Orang-orang yang) mengadakan kerusakan di bumi, orang-orang itulah yang memperoleh kutukan dan bagi mereka tempat kediaman yang buruk (Jahannam).” (Al-Qur'an, 13:25), Allah memperingatkan kita bahwa orang yang menebar kebencian akan dihukum di Hari Pembalasan.


72- "Israel, The Occupied West Bank, Gaza Strip, and Palestinian Authority Territories," Human Right Watch, World Report 1999.
73- "Israel, The Occupied West Bank, Gaza Strip, and Palestinian Authority Territories," Human Right Watch, World Report 1999.
74- Ahmet Varol, "Filistin Tutuklularinin Durumu Icler Acisi" (The Situation of the Palestine Prisoners Are Heart-Rending), www.vahdet.com.tr
75- London Sunday Times, Juni 19, 1977, taken from Ralph Schoenman, The Hidden History of Zionism, Veritas Press, CA, 1988.
76- Robert Fisk, "Khiam Jail, Where Torture is Routine and By Remote Control," The Independent, Mei, 20, 2000, tanda penegasan ditambahkan
77- Ian Gilmour, "Israel's Terrorists," The Nation, April 21, 1997, emphasis added.
78- Gideon Levy, "Contorted Bodies and Twisted Minds," Ha'aretz, September 7, 1999.
79- Chomsky, World Orders: Old and New, hlm. 253.
80- Davar, September 15, 1993.
81- Chomsky, World Orders: Old and New, hlm. 253, tanda penegasan ditambahkan.
82- Sara Roy, "Separation or Integration," Middle East Journal, 48.1, Winter 1994.
83- Rachelle Marshall, "Palestinians Come Under Siege as They Struggle for Independence," The Washington Report on Middle East Affairs, Januari - Februari 2001, hlm. 6-8, tanda penegasan ditambahkan.
84- "Marwan Barghouti presents charge sheet against State of Israel," October 3, 2002, http://electronicintifada.net/v2/article760.shtml
85- Matthew Brubacher, "A Reality Check for Jerusalem Settlements: The Case of Gilo," Jerusalem Quarterly File, 10, 2000 (http://www.jqf-jerusalem.org/journal/2000/jqf10/gilo.html).
86- Akit Turkish Daily, Juni 23, 2000.
87- Akit Turkish Daily, Juni 23, 2000.
88- Robert Fisk, "Easter in the Holy Land: Families Watch as Their Homes Are Destroyed," The Independent, 26 April 2001.
89- Robert Fisk, "Where 'Caught in Crossfire' Leave No Room For Doubt," The Palestine Chronicle Online, www.palestinechronicle.com, emphasis added.
90- Robert Fisk, "I Am Vilified for Telling the Truth about Palestinians," The Washington Report on Middle East Affairs, Januari-Februari 2001, tanda penegasan ditambahkan.
91- Robert Fisk, "Truth Is Victim as the Same Old Double Standards Prevail," The Independent, October 20, 2000, tanda penegasan ditambahkan
92- Noam Chomsky, "International Terrorism:Image and Reality," Western State Terrorism, Edited by Alexander George, (New York, Routledge:1991).
93- Grace Halsell, "The Hidden Hand of the 'Temple Mount Faithful,'" The Washington Report on Middle East Affairs, Januari 1991, hlm. 8, tanda penegasan ditambahkan.

0 komentar:

Posting Komentar