Sabtu, 02 Oktober 2010

ARIEL SHARON BERTANGGUNG JAWAB ATAS PEMBANTAIAN SABRA DAN SHATILLA

ARIEL SHARON BERTANGGUNG JAWAB ATAS PEMBANTAIAN SABRA DAN SHATILLA

Pembantaian besar-besaran di kamp Sabra dan Shatilla kembali menarik perhatian dengan siaran program BBC “The Accused” pada 17 Juni 2001. Dalam film dokumenter tersebut, yang menyoal peran Ariel Sharon dalam pembantaian yang menyebabkan 3000 orang kehilangan jiwanya, para saksi mata yang masih hidup, yang melarikan diri dari pembantaian tersebut langsung berbicara tentang kekejaman itu, yang berlangsung hampir selama 3 hari. Program ini diakhiri dengan menyebutkan bahwa Ariel Sharon, yang kemudian menjadi menteri pertahanan, bertanggung jawab atas pembantaian tersebut dan harus diadili untuk itu.

"The Accused” Disiarkan Meskipun Mendapatkan Tekanan dari Negara Israel


Orang-orang yang lari dari pembantaian, pemimpin Phalangis yang melakukannya, perwakilan Tentara Israel, pengacara, dan akademisi ikut ambil bagian dalam film dokumenter itu, yang dipersiapkan oleh wartawan Fergal Keane. Akan tetapi, sebelum acara ini disiarkan, tanggapan keras datang dari masyarakat Yahudi radikal dan Israel. Hingga saat-saat terakhir, setiap orang berpikir bahwa acara ini mungkin akan dibatalkan. Akan tetapi, menurut pernyataan Keane, program ini tetap disiarkan “di bawah ancaman ribuan e-mail, pesan-pesan ancaman, dan peringatan boikot.” Bahkan, karena begitu besarnya minat pemirsa atas acara ini, acara itu diulangi beberapa kali di BBC dan disiarkan di saluran-saluran televisi di sejumlah negara-negara asing.

Kejadian Apakah yang Terungkap

Pembantaian Sabra dan Shatilla dilakukan oleh kelompok Phalangis Kristen Libanon yang menjadi lawan Arab Muslim Libanon dalam peperangan yang panjang. Namun, Israel-lah yang mendukung, mengatur, dan mempersenjatai kelompok ini dari awal pelaksanaan. Dalam acara ini, Keane menggambarkan hubungan antara Phalangis dengan Israel dengan cara berikut ini:

Phalangis dipimpin oleh Bashir Gemayel yang karismatik dan tak kenal ampun. Ia adalah mitra utama Israel di Libanon. Badan intelijen Israel Mossad mengetahui dari pertemuan dengannya bahwa ia ingin “melenyapkan” masalah orang Palestina, dan sekarang ia akan segera menjadi presiden Libanon. Pemilihan Bashir mencemaskan orang-orang di kamp, namun mereka dijanjikan keamanan.

Tentara Israel, yang menjamin orang-orang Palestina di kamp bahwa tak akan ada yang terjadi atas mereka, kokoh berada di belakang Phalangis, kekuatan yang melakukan pembantaian tersebut. Sebelum pembantaian, tentara Israel mengendalikan kamp tersebut dengan mengebomnya selama berhari-hari. Kemudian mereka menutup semua pintu masuk ke kamp, melarang setiap orang tanpa izin masuk atau meninggalkannya. Mereka juga memberi Phalangis waktu dan sarana untuk melaksanakan pembantaian dengan letusan nyala api sepanjang malam yang menerangi jalan mereka, dan dengan tidak ikut campur selama 40 jam. Ini memudahkan pembantaian dilanjutkan dengan menyebarkan ancaman kematian, dan dengan memukul mundur orang-orang Palestina yang mencoba meninggalkannya dan orang yang mendapat jalan keluar dan mencari bantuan. Dalam perkataan Keane, “dalam reruntuhan tempat anak-anak dikuliti, lelaki muda dikebiri.” Salah satu saksi mata yang masih hidup dari pembantaian Sabra dan Shatilla yang ikut berbicara dalam acara ini, Nabil Ahmed, menggambarkan apa yang dia alami dengan cara berikut ini:

Saya berharap menemukan keluarga saya hidup-hidup. Lalu, ketika saya mulai melihat mayat-mayat di jalanan, saya lalu menerima kenyataan bahwa saya akan bersyukur jika masih bisa menemukan mayat mereka. Anda melihat apa yang terjadi. Mereka mengumpulkan mereka di dalam rumah, mereka membunuh mereka dan mereka memusnahkan rumah itu ketika mereka ada di dalamnya, sehingga kita harus membongkar reruntuhan untuk menemukan mereka. Ketika menemukan mayat kerabat saya, kami tahu bahwa di sanalah tempat kejadian yang menimpa mereka.

Pembantaian yang dilakukan oleh Phalangis ini sulit digambarkan. Pernyataan seorang pejabat Israel dalam acara tersebut dengan jelas mengungkap bahwa Phalangis adalah musuh orang-orang Islam. Komandan brigade pasukan payung Israel Yoram Yair menceritakan tuntutan mengejutkan yang ia terima dari seorang Phalangis:


Hakim Richard Goldstone adalah bekas Kepala Jaksa untuk Pengadilan Penjahat Perang PBB
Ia berkata: “Bantu aku, pastikan memberiku sebanyak itu.” Saya berkata: “Apa itu?” Ia berkata: “Dengar, aku tahu bahwa kalian cepat atau lambat akan memasuki Beirut Barat. Berjanjilah padaku bahwa kalian akan membawa banyak darah orang-orang Palestina. Aku ingin meminumnya."

Ariel Sharon, yang kemudian menjadi Menteri Pertahanan Israel, mengetahui setiap tahap pembantaian yang dilakukan di bawah payung keamanan tentara Israel. Keane menerangkan peran Sharon dengan kata-kata berikut ini:

Ariel Sharon datang ke Beirut pada Rabu pagi dan memastikan bahwa ada kekuatan PLO di kamp tersebut. Maka setelah berunding dengan pejabat seniornya, termasuk Amos Yuron, Komandan untuk Beirut dan kamp pengungsian, Ariel Sharon setuju dengan sebuah perintah menentukan. “Hanya satu unsur, dan itu adalah Angkatan Pertahanan Israel, yang harus memerintah kekuatan di daerah ini. Untuk operasi di kamp ini, orang-orang Phalangis harus dikirim ke dalamnya."

Ariel Sharon datang untuk mengunjungi Phalangis di markas besarnya untuk membahas operasi Beirut… Sekarang, satu hari setelah pembunuhan pemimpin mereka, orang-orang Israel meminta Phalangis untuk menyerang kamp Palestina. Mungkinkah Ariel Sharon ragu tentang apa yang telah terjadi jika Anda mengirim Phalangis ke dalam kamp pengungsi Palestina, sebuah kamp yang tanpa pengawalan?


Ariel Sharon, yang kemudian menjadi Menteri Pertahanan, melakukan pengamatan teratur atas daerah pertikaian, dan menginspeksi setiap tahap perang selama kunjungannya ke kamp pengungsi Phalange.
Keane mengajukan pertanyaan kepada banyak pejabat, kepada Morris Draper, perwakilan AS untuk Timur Tengah pada saat itu; Richard Goldstone, bekas kepala jaksa untuk Pengadilan Penjahat Perang PBB; Profesor Richard Falk dari Princeton University; dan lainnya… Mereka semuanya sepakat bahwa Ariel Sharon bertanggung jawab di tingkat pertama pembantaian tersebut dan bahwa ia adalah seorang penjahat perang. Sebagai contoh, Goldstone menyatakan pemikirannya berikut ini: “Jika seseorang yang memberi perintah mengetahui, atau harus mengetahui fakta-fakta yang tersedia baginya tentang situasi ketika orang-orang sipil tak berdosa akan dilukai atau dibunuh, maka orang tersebut bertanggung jawab, bahkan dalam kamus saya lebih bertanggung jawab lagi dibanding orang-orang yang melakukan perintah itu.” Ada sesi yang diberikan dalam acara ini untuk percakapan telepon yang mendukung pendapat ini. Wartawan Israel Ron Ben Yishai melaporkan sebuah percakapan antara dirinya dengan Sharon pada hari kedua sebagai berikut:

Saya mendapatinya sedang tidur di rumahnya. Ia terbangun dan Yishai berkata kepadanya: “Dengar, ada berita tentang pembunuhan dan pembantaian di kamp. Banyak pejabat yang mengetahuinya dan menceritakan pada saya tentang hal itu, dan jika mereka mengetahuinya, seluruh dunia akan mengetahuinya. Anda masih bisa menghentikannya.” Saya tidak tahu bahwa pembantaian itu benar-benar dimulai 24 jam lebih cepat. Saya pikir itu dimulai setelahnya, dan saya berkata kepadanya: “Lihat, kita masih punya waktu untuk menghentikannya. Lakukan sesuatu.” Ia tidak menjawab.

Pendeknya, meskipun ia telah mengingkarinya selama bertahun-tahun, Ariel Sharon mengetahui pembantaian itu, memutuskannya bersama-sama dengan orang-orang Phalangis, dan tidak melakukan apa pun untuk menghentikan pembunuhan di kamp tersebut, yang berada di dalam tanggung jawabnya.

Kenyataan yang diungkap oleh kejadian ini adalah salah satu peristiwa yang telah diungkap selama bertahun-tahun oleh orang-orang yang mempelajari peristiwa tersebut lebih dekat dan orang-orang yang menjalaninya. Akan tetapi, alasan mengapa acara ini menarik begitu banyak perhatian adalah karena inilah pertama kalinya saluran yang begitu berpengaruh seperti BBC memberi pernyataan secara langsung yang menuding Israel, sehingga menuding pula Perdana Menteri Ariel Sharon.

Ancaman Mati untuk Orang-orang yang Menyatakan Ariel Sharon sebagai Penjahat Perang


Profesor Richard Falk, Princeton University.

ZAMAN, 28 Juni 2001
Ancaman Kematian untuk Falk, yang menyatakan perlunya Sharon diadili.

MILLI GAZETE, 28 Juni 2001
Sebuah ancaman dari MOSSAD untuk profesor yang mengatakan pada BBC bahwa Sharon harus diadili sebagai penjahat perang.
Ada suatu tanggapan paling menarik setelah siaran ini. Profesor Richard Falk dari Princeton University, yang menyatakan bahwa Ariel Sharon harus dituduh sebagai penjahat perang, lebih jauh berkata:

Saya pikir tidak ada keraguan lagi dalam pikiran saya bahwa ia bisa dituduh karena pengetahuan yang ia miliki atau harus ia miliki.

Falk mulai menerima ancaman mati setelah pernyataan itu. Segera setelah itu, rumah dan keluarganya diberi penjagaan polisi. Israel sekali lagi berusaha membungkam orang-orang dan mencegah kebenaran diungkap dengan menggunakan kekerasan, tekanan, dan ancaman. Namun, Falk menyatakan dalam The Independent bahwa hati nuraninya merasa lega dan ia telah menceritakan kebenaran.

Setelah acara ini, perdebatan pun menghangat tentang apakah Ariel Sharon bisa atau tidak bisa diadili. Beberapa juri internasional pun ambil bagian. Bagaimanapun, debat ini adalah sebuah contoh kemunafikan. Pembantaian orang-orang Palestina, yang telah diabaikan sebagian besar negara selama lebih dari setengah abad, sekarang dibicarakan lagi 20 tahun setelah terjadi. Mereka yang mengabaikannya pada saat itu dan mereka yang tidak melakukan apa pun untuk menghentikan Israel, berperilaku seolah-olah pembantaian ini baru terungkap untuk pertama kalinya.

Sebenarnya, tuduhan ini tidaklah terbatas pada Sharon namun bisa diperluas kepada Zionisme itu sendiri, ideologi resmi Israel. Cukup melihat dasar pemikiran Israel untuk menelaahnya, dan untuk memahami filsafat di balik tumpahnya darah di Sabra dan Shatilla.

Akankah Ariel Sharon Diadili sebagai “Penjahat Perang"?

Ketika acara BBC “The Accused” diudarakan, 28 orang Palestina yang selamat dari pembantaian Sabra dan Shatilla menuntut Ariel Sharon di Belgia sehingga ia bisa diadili sebagai penjahat perang di pengadilan Belgia. Belgia adalah salah satu dari beberapa negara yang hukumnya memungkinkan pengadilan setiap orang yang melakukan pelanggaran hak asasi manusia di setiap negara.

Tuduhan ini mengungkap begitu banyak tentang sejarah berdarah Sharon dan Israel. Tuduhan ini, yang disertai laporan bersama dan penelitian sejarawan serta penulis penting sebagai bukti, berisi informasi penting bahwa Sharon mengetahui pembantaian tersebut, bahwa ia mendukung orang-orang yang melakukannya, dan bahkan bahwa ia ikut melakukannya bersama mereka:

Ahli sejarah dan wartawan sepakat bahwa, adalah mungkin pada pertemuan antara Ariel Sharon dengan Bashir Gemayel di Bikfaya pada 12 September [1982], sebuah kesepatakan disimpulkan untuk memberi kewenangan “angkatan Libanon” untuk “menyapu bersih” kamp Palestina. 1

Maksud untuk mengirimkan kekuatan Phalangis ke dalam Beirut Barat telah dinyatakan oleh Sharon pada 9 Juli 1982 2, dan dalam biografinya (yang disebut “Warrior”), ia menegaskan telah berunding tentang operasi ini selama pertemuannya dengan Bikfaya. 3

Menurut pernyataan Ariel Sharon pada 22 September 1982 di Knesset (Parlemen Israel), masuknya orang-orang Phalangis ke kamp-kamp pengungsian Beirut diputuskan pada Rabu 15 September 1982 pukul 15.30.4

Juga menurut Jenderal Sharon, komandan Israel tersebut telah menerima perintah berikut ini: “Kekuatan Tsahal dilarang memasuki kamp pengungsi. “Pembersihan” kamp akan dilaksanakan oleh Phalangis atau tentara Libanon." 5

Pada titik tersebut, Jenderal Drori menelepon Ariel Sharon dan menyatakan, “Teman-teman kami (kelompok Phalangis) tengah merangsek ke dalam kamp-kamp. Kami telah menentukan posisi jalan masuk mereka.” Sharon menjawab, “Selamat! Operasi rekan-rekan kita disetujui." 6

(untuk mendapatkan teks lengkap tuduhan tersebut serta pernyataan rinci oleh para korban, silakan kunjungi http://www.mallat.com/complaint.htm)

Perincian di atas hanyalah satu bagian saja dari bukti yang mengungkap hubungan antara Sharon dengan Gemayel. Otobiografi Sharon, “Warrior,” memberikan lebih banyak lagi perincian tentang pembantaian yang dilakukan oleh kelompok Phalangis. Dalam segala hal, kenyataan bahwa tentara Israel tidak memasuki sebuah kamp yang berada di bawah kendali mereka selama 3 hari, bahwa mereka tidak tahu-menahu apa yang terjadi di dalamnya, sementara sepanjang waktu mereka mempersiapkan bantuan logistik dan mesin pembongkar untuk menggali kubur dan memusnahkan rumah-rumah, membuktikan pernyataan bahwa mereka “berniat baik” adalah palsu.


HUMAN RIGHTS NEWS,
Februari 2003 BBC NEWS, Mei 2002

LE MONDE, 28 Juni 2001

Laporan berita yang diliput secara luas oleh pers asing mengingatkan pembaca tentang apa yang telah dilakukan Sharon di kamp pengungsi Sabra dan Shatilla. Sebuah laporan di Le Monde melaporkan bahwa “Sharon merasakan panasnya pengadilan Belgia, mempersiapkan pembelaan.” Washington Post, di lain pihak, melaporkan bahwa perdebatan tentang pembantaian di kamp-kamp itu tengah bangkit kembali.


Televisi CBS juga menyiarkan perdebatan tentang apakah Sharon harus diadili sebagai “penjahat perang”
setelah Milosevic.


Apa yang Bisa Menyelamatkan Ariel Sharon dari Tuduhan Sebagai Penjahat Perang?

Percobaan pembantaian oleh Ariel Sharon terhadap kamp Sabra dan Shatilla telah menjadi sebuah gebrakan penting. Sekalipun demikian, seruan beberapa orang di antara yang selamat tidak mendapat dukungan memadai dari dunia internasional. Selain beberapa lembaga hak asasi manusia, tak seorang pun yang mendukung mereka. Hal terpenting ialah bahwa pembantaian di Palestina masih terus berlangsung.

Di Palestina, ratusan orang Palestina yang tak berdosa dipaksa keluar dari rumah mereka dan meninggalkan tanah mereka. Bulldozer membongkar rumah-rumah mereka. Lagi-lagi seorang bapak yang tak berdaya terbunuh, bersama dengan seorang anak dalam pelukannya. Tentara Israel melakukan pembunuhan dan serangan-serangan baru setiap hari. Dan orang yang memberi perintah-perintah itu adalah Ariel Sharon. Meskipun seseorang yang lain telah menggantikan kedudukannya, pembantaian akan berlanjut, karena kekerasan Israel didasarkan pada sebuah iedologi yang sangat mengakar sehingga membawa Sharon ke pengadilan tidak akan menghentikannya. Dan hingga Israel menghapus ideologi Zionisnya, mereka akan terus mengakibatkan kematian dan pertumpahan darah di Timur Tengah.

Tentu memasukkan pembantaian di masa lalu ke dalam agenda dunia merupakan sebuah langkah penting. Namun karena hal ini akan menjadi pernyataan tentang kejujuran, kemauan yang telah diperlihatkan ini harus berlanjut hingga kekejaman berakhir. Oleh karena itu, semua orang yang jujur perlu berusaha menjatuhkan sanksi hukum internasional yang luas (misalnya sebuah embargo) dan kebijakan mengasingkan Israel untuk memaksakan akhir dari pembunuhan yang dilakukan oleh para Zionis atas nama ideologi mereka.

1- Benny Morris, The Righteous Victims, New York, A. Knopf, 1999, hlm. 540
2- Schiff & Ya'ari, Israel's Lebanon War, New York, Simon and Schuster, 1984, hlm. 251
3- A. Sharon, Warrior: An Autobiography, Simon and Schuster, Ney York, 1989, hlm. 498
4- Sharon à la Knesset, Annexe au rapport de la Commission Kahan, The Beirut Massacre, The Complete Kahan Commission Report, Princeton, Karz Cohl, 1983, hlm. 124. (Ci-après, Kahan Commission Report).
5- Kahan Report, hlm. 125: "mopping-up"
6- Amnon Kapeliouk, Sabra et Chatila: Enquête Sur un Massacre, Paris, Seuil, 1982, hlm. 37

Mengapa kamu tidak mau berperang di jalan Allah dan (membela) orang-orang yang lemah baik laki-laki, wanita-wanita maupun anak-anak yang semuanya berdo`a: "Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami dari negeri ini yang zalim penduduknya dan berilah kami pelindung dari sisi Engkau, dan berilah kami penolong dari sisi Engkau!"? (Qur'an, 4:75)

Harian Turki ZAMAN, 5 Agustus 2001
MEMBANGUN CITRA MELALUI PERS
Lampu hijau pertama untuk Israel, dalam usaha memperbaiki citranya, datang dari keputusan BBC untuk tidak menyebutkan pembunuhan warga Palestina sebagai pembunuhan.



Harian Turki YENI SAFAK, 5 Agustus 2001
SENSOR ISRAEL UNTUK BBC



Harian Turki MILLI GAZETE, 5 Agustus 2001
BBC MEMBUNGKUK HORMAT PADA ISRAEL
Dalam sebuah pesan pada reporternya di Inggris dan Timur Tengah oleh manajemen BBC, pejabat Israel menginginkan agar kematian warga Palestina disebut sebagai penentuan dan pembersihan sasaran, bukan pembunuhan.




--------------------------------------------------------------------------------


Media Barat biasanya melaporkan kejadian di Timur Tengah dengan cara yang tidak seimbang. Orang-orang yang menimbulkan kegusaran pemerintahan Israel, secara umum harus mundur. Pusat penyiaran terkenal Inggris, BBC baru satu di antara media yang menyerah pada tekanan Israel dan ditekan untuk mempermak beritanya. Namun, masih ada wartawan seperti Robert Fisk di seluruh dunia, yang punya keberanian menceritakan kebenaran dan membawa kejadian sesungguhnya di Palestina ke dalam agenda dunia di setiap kesempatan. Dalam artikelnya “BBC staff told not to call Israeli killings ‘assassinations’ (Staf BBC diperintahkan untuk tidak menyebut pembunuhan oleh Israel sebagai ‘pembunuhan’),” Fisk mengkritik pengaruh Israel atas media.

Apakah Para Saksi yang Menentang Sharon Dilenyapkan?

Ketika persoalan Sharon yang tengah menghadapi pengadilan Belgia karena pembantaian Sabra dan Shatilla masih merupakan agenda, laporan menarik muncul dari belahan dunia yang lain. Orang-orang yang memainkan peran tersendiri dalam pembantaian 1982, satu demi satu, kehilangan nyawanya dalam keadaan misterius.

Sekalipun pengadilan Belgia tidaklah memutuskan apakah Sharon harus menghadapi tuntutan atau tidak, pengacara korban yang selamat terus menemukan bukti baru. Namun, bukti baru yang paling penting adalah ingatan dari orang-orang yang menyaksikan dan mengambil bagian dalam kekejaman ini. Karena beberapa hal, beberapa orang yang ikut serta tersebut terbunuh dalam bulan-bulan belakangan ini, sehingga menghilangkan saksi yang paling penting. Pertama, Jean Ghanem, teman terdekat Elia Hobeika, pemimpin kelompok Phalangis yang melakukan serangan pada tahun 1982, kehilangan nyawanya dalam kecelakaan lalu lintas yang ganjil. Mobilnya menabrak sebuah pohon yang jelas terlihat pada malam tahun baru, yang mengakibatkan kematiannya setelah dua minggu tak sadarkan diri.

Elia Hobeika, yang dikenal sebagai salah satu pemimpin yang paling “berdarah” dan tak kenal ampun dalam sejarah Libanon, terbunuh oleh sebuah bom yang diletakkan dalam mobilnya. Satu alasan mengapa semua mata mengarah pada tentara Israel segera setelah kejadian ini adalah karena sekitar 24 jam sebelum kematiannya, ia telah mengumumkan bahwa ia akan membeberkan bukti yang merugikan Sharon di Belgia. Dalam konferensi persnya, Hobeika bahkan berkata: “Dan saya memiliki bukti tentang apa yang sebenarnya terjadi di Sabra dan Shatilla yang akan makin memberi titik terang pada laporan komisi Kahan." a

Bukti seperti ini jelas akan membuat segalanya sangat sulit bagi Sharon. Hobeika telah dilatih oleh tentara keamanan Israel di kamp-kamp Israel selama 1980an, dan menjadi pemimpin kelompok Phalangis yang melakukan pembantaian Sabra dan Shatilla atas arahan Sharon. Dan memang, Komisi Kahan yang bertanggung jawab melakukan penyidikan pembantaian di Israel menyebutkan nama Hobeika dan menyatakan bahwa ia dan Ariel Sharon yang kemudian menjadi Menteri Pertahanan bertanggung jawab atas pembantaian pada tingkat pertama. b

Pendeknya, warga sipil yang kehilangan nyawanya di kamp Sabra dan Shatilla adalah korban-korban Phalangis Hobeika, yang beroperasi di bawah perlindungan Israel. Salah satu anekdot yang terkenal tentang dirinya muncul ketika serangan itu tengah terjadi, ketika salah satu pejabat Phalangis menanyakan padanya apa yang seharusnya dilakukan kepada tahanan sipil Palestina. Dengan tersenyum, Hobeika memberi perintah agar semuanya dibunuh, dengan berkata: “Jangan tanyakan padaku pertanyaan bodoh itu lagi." c

Michael Nassar, salah satu bekas asisten mendiang Hobeika, menjual senjata-senjata yang ditinggalkan dalam perang sipil Libanon kepada milisi Kroasia selama pertikaian di Balkan. Dengan uang yang ia peroleh, ia pindah ke Brasil. Nassar tertembak di dalam mobilnya, bersama istrinya. Meskipun ini bisa saja menunjukkan bahwa ia terbunuh oleh mafia Brazil, kenyataan bahwa pembunuhan ini saling bertalian satu sama lain dalam waktu dekat menunjukkan sebuah petunjuk penting tentang apa yang sebenarnya terjadi.

1- The Independent, 25 Januari 2002 a
2- The Independent, 25 Januari 2002 b
3- The Independent, 25 Januari 2002 c

Harian Turki SABAH, 25 Januari 2002
DILEDAKKAN BERSAMA RAHASIA TERPENDAMNYA
Hobeika, bekas pemimpin milisi Kristen Libanon, telah terbunuh.


Harian Turki HURRIYET, 25 Januari 2002
PEMBUNUHAN SAKSI MATA PENTING PEMBANTAIAN SABRA DAN SHATILLA.


Harian Turki MILLIYET, 25 Januari 2002
SAKSI MATA DIBUNGKAM
Seorang saksi mata berkebangsaan Libanon yang akan memberi kesaksian menentang Sharon tentang pembantaian Sabra dan Shatilla telah dibunuh.




KAMP-KAMP PENGUNGSIAN


Israeli attacks left Palestinians no choice but to leave the places where they had been born and raised.
Pada tahun 1948, dengan diakuinya Resolusi PBB No. 181, ratusan ribu warga Palestina tiba-tiba telah menjadi orang tak bernegara di tanahnya sendiri. Menurut resolusi ini, Palestina dibagi sebagai berikut: 55% dari tanah tersebut, termasuk bagian yang lebih besar yang terdiri atas pantai yang menguntungkan secara ekonomi, diserahkan kepada orang-orang Israel, sedangkan sisanya yang 45% termasuk jalur pantai sempit Gaza, setengah Galilea, dataran tinggi Judi dan Samaria, serta sedikit Negev, diberikan kepada orang Palestina. Begitu tentara Inggris menarik diri sepenuhnya dari daerah ini, perang pun meletus pada 15 Mei 1948 antara Mesir, warga Transyordania Siria, dan Irak di satu pihak, serta Israel di pihak lain. Perang berakhir pada bulan Desember dan Israel keluar dari perang dengan sekitar 50% tanah lebih banyak dibanding yang telah dibagi menurut keputusan PBB, termasuk seluruh tanah Galilea, tanah berpantai, serta bagian barat laut Yerusalem, dan hanya meninggalkan Tepi Barat dan Jalur Gaza.

Akibatnya, lebih dari 750.000 Arab Palestina meninggalkan segalanya yang mereka miliki dan keluar dari negaranya. Sekitar sepertiga dari mereka tinggal di Tepi Barat, sepertiga lainnya di Jalur Gaza, dan sisanya menempati pengungsian di negara-negara Arab tetangganya, khususnya Yordania, Siria, dan Libanon. Selama Perang Enam Hari pada 1967, Israel menduduki Tepi Barat dan Jalur Gaza dan sebagian besar warga Palestina pun meninggalkan daerah ini menuju negara-negara Arab berdekatan. Jumlah orang-orang Palestina yang tersebar di seluruh dunia saat ini diperkirakan mencapai 3,5 hingga 4 juta jiwa. Dari jumlah ini, sekitar satu juta tinggal di kamp-kamp pengungsi Tepi Barat dan Jalur Gaza dan sepanjang perbatasan Libanon, Yordania, dan Siria. Lainnya tinggal di luar kamp, namun tanpa kewarganegaraan apa pun.

Sebagian besar warga Palestina berusia separuh baya saat ini dilahirkan di kamp-kamp pengungsian ini. Orang-orang Islam Palestina hidup dalam keadaan yang begitu sulit dan terbelakang di kamp-kamp ini, karena setiap satu keluarga menempati tempat seluas 60 meter persegi dan hampir tanpa prasarana. Salah satu masalah terbesar adalah, sebagian besar penduduk ini menganggur.

NAMA KAMP DALAM KAMP LUAR KAMP TOTAL
Jordan 238.188 1.050.009 1.288.197
West Bank 131.705 385.707 517.412
Gaza 362.626 320.934 683.560
Lebanon 175.747 170.417 346.164
Syria 83.311 253.997 337.308
Total 991.577 2.181.064 3.172.641

Harian Turki Zaman, 6 Maret 2001

Kepadatan penduduk Gaza yang 2500 jiwa per kilometer persegi hanya meningkatkan kerasnya keadaan hidup para pengungsi. Dan jika Anda merenungkan bahwa orang-orang ini meninggalkan semua harta miliknya dan peluang kerjanya untuk menempati barak pengungsi di daerah ini, akan lebih mudah membayangkan suasana kehidupan mereka.

Dalam bukunya The Israeli Connection: Who Israel Arms and Why, Profesor dari Universitas Haifa Benjamin Beit Hallahmi menggambarkan keadaan warga Palestina yang tinggal di Jalur Gaza dan sikap orang Israel terhadap mereka:

Pada tahun 1986, penduduk Gaza berkisar pada 525.000 jiwa dengan kepadatan 2150 per kilometer persegi (kepadatan di Israel adalah 186)… Sebagian besar penduduk Gaza yang mampu bekerja, yang kadang-kadang dimulai pada usia 8 tahun, bekerja di Israel, dengan upah yang lebih rendah 40 persen di bawah rata-rata gaji orang Israel. Mereka membayar pajak pendapatan dan pajak keamanan sosial, tanpa mendapatkan tunjangan apa pun, karena mereka dikelompokkan sebagai bukan penduduk… dalam pemikiran warga Israel, Gaza telah menjadi sebuah lambang ketidakberdayaan dan keberandalan, namun tidak ada simpati untuk pengungsi di Gaza, karena mereka dianggap musuh.54



Tak disangkal lagi, orang-orang yang paling menderita keadaan yang sulit di kamp-kamp adalah wanita, orang tua, dan anak-anak usia sekolah.

Untuk lebih memahami kenyataan di kamp pengungsian tersebut, coba renungkan kesan seorang Amerika keturunan Palestina yang mengunjungi kamp ini. Yasmine Subhi Ali, seorang mahasiswa kedokteran, melakukan penelitian berikut ini selama kunjungannya di kamp Shatilla pada tahun 1999:

... Melewati begitu banyak sisa-sisa reruntuhan perang sipil dan penyerangan Israel di sepanjang jalan kami. Saya berharap bahwa kami akan berhenti di beberapa pintu gerbang untuk menandai jalan masuk ke kamp ketika telah mencapainya, namun saya tidak melihat apa pun semacam itu. Saya tidak perlu melakukannya: perbedaan antara kamp dengan daerah sekitarnya (yang bukan merupakan bagian terbaik dari kota ini) begitu mencolok sehingga kita tidak akan pernah keliru menemukannya. Ada tumpukan demi tumpukan sampah, rongsokan, dan bebatuan di pinggir-pinggir jalan… Pertokoan yang ramai berjejer di jalan itu sekarang, namun di kejauhan di belakangnya sisa-sisanya tetap ada: bangunan-bangunan yang ditinggalkan dengan lubang-lubang peluru, dan berlumur bubuk mesiu… dan tanah pekuburan yang di atasnya (seperti dikatakan pada kami) penduduk kamp tidak diizinkan membangun tanda apa pun atau bahkan batu nisan sekali pun.55


Dunia mengabaikan persoalan rakyat Palestina, yang berjuang dengan salju, hujan, dan lumpur di musim dingin dan panas menyengat di musim panas.

Kamp pengungsian penting lainnya adalah Dheisheh, di dekat Bethlehem. Pada edisi Oktober 2000 majalah Prancis Le Monde Diplomatique, Muna Hamzeh-Muhaisen, dalam kedudukannya sebagai direktur teknis dan manajer hubungan masyarakat Proyek Lintas Perbatasan Universitas Birzeit, menerbitkan tulisannya dari buku hariannya tentang kamp ini. Kejadian yang disebutkannya di bawah ini menarik karena mencerminkan keadaan warga Palestina:


Orang-orang Palestina yang rumahnya dihancurkan dan kartu pengenalnya dirampas bertahan hidup di tenda-tenda darurat dan menunggu penuh harap hari mereka bisa pulang ke rumahnya lagi.

Tak seorang pun di Dheisheh memiliki kesempatan untuk bekerja, kecuali orang-orang yang bekerja di Bethlehem. Setiap keluarga Palestina di Daerah A dipisahkan dari lainnya oleh tank-tank. Kita tidak dapat pergi dari Bethlehem ke Al-Khalil atau Yerusalem. Kami menghabiskan seluruh hari mengikuti beritanya. Orang-orang mengalami semacam tekanan, sehingga mereka berpikir saatnya telah tiba, baik mereka atau pun kami… Orang-orang muak dan lelah menghadapi semua ini. Mereka disuapi dengan provokasi Israel, dengan kebusukan pejabatnya. Mereka disuapi dengan kesepakatan demi kesepakatan untuk mendirikan sebuah negara atas perbedaan ras di tanah ini, untuk membagi Tepi Barat ke dalam dua ratus pulau-pulau kecil. Mereka muak dengan segala kesepakatan perdamaian… Dan ketika semua ini terjadi, di Israel kehidupan tetap berjalan normal. Warga Israel bangun setiap hari, sedangkan anak-anak mereka pergi ke sekolah dan mereka pergi bekerja. Mereka keluar mengunjungi restoran-restoran atau pergi ke bioskop. Mereka tidak peduli apa yang terjadi di sini. Mereka berperilaku seolah-olah orang-orang yang melukai, membantai, dan membunuh kami bukanlah suami, putera, atau bapak-bapak mereka, selain pembunuh bayaran yang dibawa dari tempat yang jauh… Tak seorang pun mau mendengar berita tentang kesepakatan demi kesepakatan baru. Israel akan menarik kendaraan perangnya. Lalu apa? Mereka akan tetap menggunakan peluru tajam untuk membunuhi warga sipil. Mereka akan menggunakan peluru karet dan gas air mata. Mereka masih akan bangun tidur bersama sistem apartheid-nya…

Bagaimana seharusnya kita menatap wajah Um Hazem sekarang? Mustafa, putera Um Hazem, telah bergabung menjadi tentara bunuh diri. Peluru Israel mengubah dada Mustafa dan tangannya menjadi tembaga. Mereka memperlihatkan kepada kita mayatnya di ruangan rumah sakit. Kita bisa melihat tulang belulangnya. Empat peluru penembak jitu telah mencabik-cabik tubuhnya...

Pada kegelapan September tahun 1967, saya masih seorang anak kecil di Amman. Hampir sepanjang Intifadah saya tinggal di Palestina. Namun untuk pertama kalinya, suara rudal tidak menakutkan saya. Dan saya paham untuk pertama kalinya mengapa orang Palestina yang menghabiskan hidupnya dalam pendudukan terus berjuang melawan orang Israel dan mengapa mereka melawan senjata-senjata mereka dengan batu...56

Keadaan ini, serta kekerasan orang Israel, berlanjut di kamp-kamp tersebut hari ini. Penulis Norman Finkelstein, yang dia sendiri lahir di ghetto Yahudi di Polandia, menggambarkan contoh-contoh kekerasan ini dalam The Rise and Fall of Palestine, bukunya tentang tahun-tahun Intifadah:

Bentuk paling umum dari kekerasan Israel di kamp-kamp pengungsian adalah “pogrom (pembantaian). Memasuki kamp-kamp setelah senja, para tentara dan penduduk memberondong mereka (orang Palestina) dengan peluru dan gas air mata, meledakkan pintu-pintu dan memecahkan jendela-jendela dan atap, masuk ke dalam rumah, dan menghancurkannya dengan secepat kilat (biasanya dengan membawa satu atau dua sandera)."57

Satu-satunya harapan pengungsi Palestina adalah kembali ke tanah mereka dan negara mereka. Akan tetapi, dilema yang mereka hadapi adalah masalah utama yang diperdebatkan dalam semua perundingan damai. Sebaliknya, Israel memiliki kebijakan yang amat ketat dalam hal ini. Ini dengan jelas diperlihatkan dengan semboyan Perdana Menteri Ariel Sharon: “Yerusalem tidak dapat dibagi, para pengungsi tidak akan kembali.” Sepanjang ia tetap menduduki jabatannya, ini akan tetap menjadi kebijakan resmi Israel.



Keadaan hidup yang tak sehat, kurangnya aliran obat, dan kesulitan lain yang disebabkan embargo ekonomi paling banyak mempengaruhi anak-anak Palestina.

Seperti telah disebutkan sebelumnya, para Zionis menganggap melindungi dan memperkuat seluruh bangsa dan negara Israel Yahudi sebagai sesuatu yang sama sucinya dengan pendirian Israel. Usaha memperkuat negara Israel ini hanya dimungkinkan melalui perluasan pemukiman dan peningkatan jumlah orang Yahudi yang tinggal di Tanah Suci. Dalam pernyataan persnya pada Maret 2001, Sharon menerangkan bahwa sekitar satu juta orang Yahudi harus pindah ke Israel dalam 10 hingga 12 tahun mendatang, dan bahwa pada tahun 2020 mereka sudah harus menciptakan suasana hidup yang layak untuk orang-orang Yahudi yang pindah ini, dan yang telah tinggal di Israel. Pandangan Sharon bahwa “[Israel] harus menciptakan suasana yang nyaman untuk mereka agar mau pindah… Jika mereka ingin tetap menjadi Yahudi, mereka harus pindah untuk tinggal di sini. Setiap upaya harus dilakukan untuk membawa orang-orang Yahudi ke sini."58 semuanya menunjukkan betapa pentingnya bagi Israel merampok orang-orang Palestina di tanahnya.

Kekejaman yang dilakukan atas orang Palestina tengah dilakukan dan disaksikan oleh dunia. Para pengungsi hidup dalam keadaan yang sangat sukar dan menghadapi ancaman pengeboman baru setiap saat. Namun jangan lupa bahwa orang-orang beriman selalu akan mendapat bantuan dan pertolongan Allah, baik di dunia maupun di akhirat, seperti digambarkan dalam:

Dan betapa banyaknya nabi yang berperang bersama orang-orang (yang terdiri dari) sejumlah besar dari pengikut(nya) yang bertakwa. Mereka tidak menjadi lemah karena bencana yang menimpa mereka di jalan Allah, dan tidak lesu dan tidak (pula) menyerah (kepada musuh). Allah menyukai orang-orang yang sabar. Tidak ada do'a mereka selain ucapan: "Ya Tuhan kami, ampunilah dosa-dosa kami dan tindakan-tindakan kami yang berlebihan dalam urusan kami dan tetapkanlah pendirian kami, dan tolonglah kami terhadap kaum yang kafir". Karena itu Allah memberikan kepada mereka pahala di dunia dan pahala yang baik di akhirat. Dan Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebaikan. (Qur'an, 3:146-148)

Seperti yang telah kita bahas sebelumnya, orang-orang Islam tidak akan mengabaikan kekejaman seperti ini. Ketika orang-orang yang tak berdosa mati satu demi satu, mustahil bagi setiap Muslimin untuk tidur dengan nyenyak, pergi bekerja setiap hari, dan hanya memikirkan kesenangannya sendiri. Al-Qur’an memberikan pemecahan, dan orang yang mampu melaksanakannya adalah orang-orang Islam. Dengan ayat-ayat, "Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya dari Allah, dan Kitab yang menerangkan. Dengan kitab itulah Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti ridha-Nya ke jalan keselamatan, dan (dengan kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang-orang itu dari gelap gulita kepada cahaya yang terang benderang dengan seizin-Nya, dan menunjuki mereka ke jalan yang lurus." (Al-Qur'an, 5:15-16), Allah berfirman bahwa orang-orang yang menderita kekejaman akan memperoleh keselamatan dengan tuntunan Al-Qur'an. Pemecahannya adalah menghayati Al-Qur'an, menuntut agar hak-hak Muslimin di seluruh dunia dihormati dan berjuang melawan musuh-musuh akhlak agama.

Hidup dalam Kepungan

Pemerintah Israel juga memaksa orang-orang Palestina untuk hidup dalam pemblokiran. Meskipun mereka hanya memiliki sejumlah kecil tanah dibanding jumlah penduduk mereka, orang-orang Palestina berada dalam kendali yang ketat dan pengawasan terus menerus. (Padahal, mereka sebenarnya tidaklah memiliki tanah sama sekali saat ini. Mereka dipaksa hidup hanya di atas bagian Daerah Pendudukan yang diberi izin oleh Israel.)

Israel terus menerapkan kewenangan pengawasan atas 97% Tepi Barat dan 40% Jalur Gaza, yang dua-duanya berada di bawah Otorita Otonomi Palestina. Meskipun kelihatannya orang-orang Palestina yang tinggal di daerah ini diatur oleh pemerintahannya sendiri, Israel telah menempatkan batasan-batasan ketat atas kemerdekaan bergerak bagi semua orang Palestina yang tinggal di Tepi Barat dan sebagian besar Jalur Gaza. Semenjak Maret 1993, perjalanan yang dilakukan oleh orang-orang Palestina yang tinggal di Israel dan Yerusalem Timur harus disetujui dulu oleh pemerintah. Tidak hanya membatasi kegiatan ekonomi orang-orang Palestina, hal ini juga menghilangkan hak-hak dasar seperti pendidikan, kesehatan, dan kebebasan beribadah.

Kebijakan pemblokiran oleh Israel sebenarnya punya dua tujuan. Sisi yang paling mudah dilihat adalah penempatan pos-pos pemeriksaan di berbagai tempat dan mengerahkan pemusatan tentara dalam jumlah besar di dekat wilayah yang ditempati orang Palestina untuk alasan “keamanan.” Baru-baru ini, tentara Israel telah mulai mendirikan pagar kawat berduri dan dinding beton di sekitar wilayah Palestina dan menggali parit di sekeliling jalan utama. Karena para tentara ini begitu membabi buta, titik-titik ini sering menjadi daerah bentrokan mematikan.


Setiap saat dalam kehidupan rakyat Palestina berada di bawah kendali tentara Israel. Pemeriksaan keamanan di rumah, mobil, dan tempat kerja hanyalah bentuk lain penyiksaan.

Dalam sebuah artikel yang diterbitkan dalam surat kabar Mesir Al-Ahram, wartawan Graham Usher menggambarkan pemblokiran Gaza oleh Israel, yang dimulai pada 2001, dan akibatnya atas orang-orang Palestina:

Ada sekitar 90 rintangan jalan di Tepi Barat dan 163 barikade tanah… Orang-orang Palestina mengatasinya dengan menyelinap melalui ladang-ladang jagung dan di atas jalan-jalan berbatu untuk mencapai tempat kerjanya di Israel… sekitar 10.000 hingga 30.000 orang Palestina bekerja di Israel… Rintangan paling lazim adalah lumpur dan kerikil setinggi kira-kira semeter, dikelilingi oleh parit sedalam sekitar satu meter… Ini seolah-olah memisahkan jalan yang menuju ke kota, desa, atau kamp di Tepi Barat…Kenyataan seperti inilah yang membuat orang-orang Palestina yakin bahwa pengepungan ini tepat sama dengan hal yang enggan diakui oleh pemerintah Israel: hukuman massal atas orang-orang tak bersalah dan penduduk sipil tak bersenjata. Dan ini menyakitkan seperti neraka… Tujuan yang tak disebutkan tentang penindasan seperti ini adalah untuk melelahkan orang-orang Palestina sehingga menyerah dan tidak melawan lagi.59

Barikade ini juga menghalangi orang-orang Palestina mendapatkan kebutuhan dasar seperti obat-obatan dan air. Di banyak kamp, di mana kekurangan prasarana dan air berarti bahwa orang-orang mendapat air dari truk-truk, parit-parit akan mencegah truk-truk tersebut lewat. Kebanyakan orang yang mengalami keadaan ini saat ini mencoba memenuhi kebutuhan air bersihnya dengan mengumpulkan air hujan.

Di luar itu, hak untuk mendidik anak-anak yang tinggal di kamp-kamp pengungsian juga dilanggar. Karena para guru pada umumnya mencapai kamp pengungsian dan desa-desa dari kota-kota lain, pemblokiran tersebut mencegah mereka menemui murid-murid mereka. Pemblokiran ini juga berdampak negatif atas petani-petani Palestina, karena truk-truk yang membawa tanaman mereka ke pasar terjatuh ke dalam parit-parit. Oleh karena itu mereka tidak punya pilihan selain membawa sendiri barang-barang mereka.

Wartawan Israel Gordon Levy menghabiskan banyak waktunya di Daerah Pendudukan dan menyaksikan kekerasan yang dialami oleh orang-orang Palestina. Dalam artikelnya “Women in Black,” ia menggambarkan kehidupan di kamp-kamp dan desa-desa yang diblokir ini:

Tepi Barat berada di bawah pengepungan, kota-kota dan desa-desanya diblokir dan sebagian besar jalan-jalan utama terbuka hanya untuk orang-orang Yahudi… Para pengemudi menyampaikan informasi satu sama lain dengan isyarat tangan. Jangan samakan ini seperti laporan keadaan jalan raya di radio, ini adalah pesan hidup mati mengenai tempat-tempat tentara dan para pemukim Israel… Para tentara dipantau dari jauh, yang mengawasi dari pos-pos penjagaan jalan dan dari jalan utama. Kadangkala mereka melakukan penyapuan dengan jipnya untuk menghentikan pengemudi di jalan terlarang. Kadangkala mereka memeriksa kartu identitas para penumpang… dan terkadang mereka memukuli para pengemudi… Mereka juga mengejar orang-orang yang mencoba menyeberangi tempat itu dengan berjalan kaki.

Kadang-kadang mereka menembak, seperti yang dilakukan mereka pada seorang penumpang remaja, Fatma Abu Jish dari desa sebelah, yang terbunuh di sini hari Senin ini sesaat setelah ia menyeberang.60

W. REPORT, April - Mei 1994 W. REPORT, Agustus - September 2001



Harian Turki MILLI GAZETE, 12 Juni 2001
PASIEN YANG TAK MENDAPAT IZIN ISRAEL MENINGGAL

Tentara dan pemukim Israel saling bersaing untuk melecehkan, menyiksa, dan meyerang orang-orang Palestina.
Mereka membuat rintangan jalan, menggali parit, dan menghambat orang-orang Palestina mendapatkan kebutuhan
paling pokok sekalipun.



Setiap bentrokan antara warga Palestina dan tentara Israel berarti letupan senjata akan segera terdengar. Di banyak kejadian, warga Palestina adalah pecundang dalam bentrokan itu.

Perbuatan memblokir jalan-jalan tertentu dengan balok-balok beton tidak mengurangi pertikaian, bahkan meningkatkan-nya. Warga Palestina yang berusaha pergi sekolah atau bekerja melakukannya di bawah bayang-bayang tentara Israel dan senjata otomatis.


Pendudukan dan Tanah Palestina yang Diblokir

Salah satu hal yang tak terlihat dari pemblokiran ini adalah bahwa tanah orang Palestina yang masih tersisa tengah diciutkan luasnya dengan pembangunan pemukiman Yahudi yang terus menerus. Israel melakukan kebijakan terencana untuk menciptakan wilayah pemukiman baru. Lebih jauh, pemukiman ini, yang dibangun untuk jumlah penduduk maksimal, memiliki tingkat kepentingan besar bagi Israel. Misalnya, pemukiman Yahudi di Gaza dan di wilayah Tepi Barat yang dianggap telah diserahkan kepada Otoritas Palestina, juga mereka anggap sangat penting. Meskipun tanah tersebut telah diberikan pada Palestina, Israel tidak pernah setuju memindahkan warga pemukiman tersebut. Memang, polisi Palestina tak punya wewenang untuk mengawasi dan meninjau wilayah-wilayah ini. Ini berarti bahwa Israel tidak pernah menarik diri dari tempat ini yang dalam kenyataannya tetap menjadi Daerah Pendudukan.

Pemukiman-pemukiman ini juga penting karena mengelilingi daerah kantong Palestina. Untuk bergerak dari satu pemukiman ke pemukiman lain, warga pemukiman dapat melewati terowongan-terowongan yang dibangun oleh pemerintah Israel tanpa menginjak tanah Palestina. Namun orang-orang Palestina yang ingin meninggalkan kamp-kampnya untuk mengunjungi kerabatnya yang tinggal di kamp-kamp lainnya, atau yang hanya ingin bekerja setiap hari, harus melalui beberapa pos pemeriksaan militer. Meskipun sekarang Palestina telah menyatakan kemerdekaannya, negara ini akan terdiri atas daerah-daerah yang tidak saling bersebelahan atau terpisah jauh. Bahkan, seluruh wilayah ini masih akan berada di bawah kendali tentara Israel. Bagaimana batas negara seperti itu dapat ditentukan? Bagaimana perekonomiannya dapat berkembang? Bagaimana investasi bisa dilakukan dalam kesehatan dan pendidikan? Tentu saja tujuan Israel adalah untuk menghancurkan, melalui pembauran orang-orang Palestina yang tidak dapat dihancurkannya secara fisik. Oleh karena itu mereka berencana untuk menciptakan masyarakat yang terpisah jauh dan tak saling bersentuhan satu sama lain, lalu mengasingkan mereka secara budaya maupun kemasyarakatan.

Pembangunan pemukiman yang disengaja ini di tengah-tengah daerah Palestina di sekitarnya sebenarnya adalah salah satu alasan mendasar bentrokan-bentrokan yang terjadi. Pemimpin redaksi Majalah Le Monde Diplomatique Alain Gresh, yang terkenal karena bukunya tentang Timur Tengah, menulis hal berikut ini tentang pemukiman Israel dalam sebuah artikel:

Pemukiman-pemukiman ini, yang tepat di tengah-tengah tanah Palestina… Pemukiman-pemukiman ini memangsa tanah-tanah Palestina, secuil demi secuil, setiap hari. Ribuan tentara Israel ditempatkan di sana untuk “perlindungan” mereka, pos-pos pemeriksaan yang tak terhitung didirikan, dan bagi orang-orang Palestina ini menjadi sebuah bentuk penghinaan. Jalan-jalan dibuat untuk pemukiman-pemukiman ini. Adanya semua bangunan ini sudah cukup merusak cita-cita tentang sebuah bangsa merdeka yang abadi.61

Pemukiman di atas tanah Palestina ini adalah satu di antara tempat bentrokan berdarah dalam Intifadah baru, karena pesan yang disuarakan oleh orang-orang Palestina yang menolaknya jelas: Israel berada dalam kedudukan harus memilih antara pemukiman ini atau perdamaian. Dan pemukiman-pemukiman ini dikelompokkan oleh International Criminal Code (Hukum Penjahat Internasional) sebagai sebuah “kejahatan perang." M. Yossi Sarid, anggota parlemen dari gerakan Meretz kiri, membuat pengakuan berikut ini:

Pemukiman-pemukiman ini berada di depan badai, dan selalu mengundang bahaya, baik bagi penduduknya maupun bagi para tentara. Pemukiman ini harus dipisahkan tanpa buang waktu lagi.62


Diperiksa oleh tentara Israel berarti dipenjara untuk waktu tak terbatas atau “dilenyapkan” bagi rakyat Palestina. Karena itu, diperiksa adalah salah satu sumber ketakutan terbesar rakyat Palestina.


Di Afrika Selatan, mereka menyebutnya apartheid). Ia menjelaskan bahwa ketika membangun pemukiman-pemukiman ini, pemerintah Israel memaksa orang-orang Palestina meninggalkan rumahnya, lalu menanamkan investasi untuk membangun daerah yang sama dan memberi bantuan pemerintah untuk orang-orang (Israel) yang mau pindah ke sana. Kemudian perdana menteri Ehud Barak melakukan perundingan damai di satu pihak, sementara di pihak lain ia meneruskan pembangunan pemukiman baru. Artikel ini menekankan pidatonya pada acara pembukaan Ma’aleh Adumim: "Setiap rumah yang Anda bangun di sini adalah bagian dari negara Israel. Selamanya. Titik. Pemerintahan baru akan terus memperkuat negara Israel, cengkeramannya atas Tanah Israel, dan akan terus membangun dan mempertahankan Ma’aleh Adumim." Hasilnya, tegas Felner, adalah bahwa,

Namun Ma’aleh Adumim bukan sekedar kisah tentang pembangunan kota yang berhasil seperti digambarkan dalam brosur mentereng pemerintah kota dan website-nya yang menggiurkan. Ma’aleh Adumim dibangun di tanah yang dirampas dari orang Palestina, dari desa-desa Abu Dis, al-Izariyah, al-Issawiyah, al-Tuor dan Anata.63

Kekejaman di Pos-pos Pemeriksaan

Sebenarnya, kebijakan munafik Israel telah berlanjut bahkan semenjak proses perdamaian dimulai. Ketika Kesepakatan Oslo dilaksanakan pada tahun 1993, Israel mengakui Otoritas Palestina yang berdiri sendiri. Kesepakatan ini adalah sarana yang mendasari negara Palestina berdiri sendiri bisa dijadikan agenda, meskipun perbatasannya belum lagi jelas. Sewaktu hal ini kelihatannya merupakan perkembangan positif, pemerintah Israel menggunakannya maupun perundingan lain untuk melakukan kekejaman atas orang-orang Palestina.

Setelah batas-batas Otoritas Palestina ditetapkan, orang-orang Palestina dihadapkan dengan hambatan-hambatan yang lebih melumpuhkan lagi. Melintasi perbatasan saat ini harus dengan visa, sebuah peraturan yang jelas-jelas membatasi perjalanan. Setelah menghadapi banyak pemeriksaan kartu identitas, orang-orang Palestina dikeluarkan dari mobilnya dan diperiksa, tak perlu menyebutkan pelecehan dan penghinaannya, di barikade-barikade yang didirikan di jalan-jalan. Dengan kata lain, mereka secara efektif berada di bawah kendali Israel sepenuhnya. Akibat pemeriksaan ini, begitu sering judul-judul berita di surat kabar diterbitkan seperti "Seorang Palestina lanjut usia tewas ketika sebuah ambulan tidak diizinkan membawanya” atau “Seorang perempuan yang tengah sakit meninggal karena ia tidak diberi izin tinggal di rumah sakit."

Suleiman Abu Karsh, wakil menteri perdagangan Palestina, menggambarkan dalam sebuah wawancara bagaimana pemblokiran tersebut telah menyiksa kehidupan orang-orang Palestina:

Apakah Anda tahu bagaimana saya tiba di sini? Daerah antara rumah kami dan bandara penuh dengan tank-tank Israel. Jika mereka telah membunuh saya, siapa yang akan menyuruh mereka bertanggung jawab? Israel hanya akan berkata bahwa saya mencurigakan, dan itulah sebabnya saya dibunuh. Tentara Israel tidak mengizinkan delegasi saya untuk terus ke bandara. Sekarang saya pulang, namun anak saya memberi tahu lewat telepon bahwa jalanan telah ditutup. Saya tidak tahu apakah saya akan sampai di rumah atau tidak.64

SEPANJANG HIDUP DIKENDALIKAN




Rakyat Palestina tidak dapat melakukan perjalanan, pergi bekerja, menjual barang-barangnya, atau bahkan beribadah tanpa persetujuan tentara Israel.


Anggota parlemen Inggris Bashir Khanbhai, anggota Parlemen Eropa, menyaksikan kejadian seperti itu selama kunjungannya ke Palestina. Hal berikut ini disebutkan dalam laporannya kepada Parlemen mengenai kebijakan Israel yang menindas dan membabi buta:

Israel telah menggunakan kekuatannya untuk mengepung, menghancurkan rumah-rumah dan pertanian; menahan, menyiksa, dan membunuh warga sipil tak bersalah dan menghukum massal melalui jam malam dan intimidasi kasar tanpa sanksi apa pun dari masyarakat internasional…

Israel Defence Force (IDF, Angkatan Pertahanan Israel) adalah lembaga yang terbesar dan terbanyak menikmati dana. Lembaga ini mengendalikan semua terbitan (surat kabar) yang diedarkan di Palestina; barang dan jasa apa yang dapat diimpor; semua gerakan orang dan kendaraan; penggunaan tanah menurut pembangunan bangunan baru dan pasokan bahan-bahan kebutuhan sehari-hari. Mereka menentukan perlindungan bagi ratusan pemukim baru yang telah menjamur di seluruh tanah Palestina, tanah yang direbut tanpa bayaran! Beberapa pemukiman ini hanyalah berisi rumah antara 30 hingga 40 orang namun mereka punya ratusan tentara bersenjata…

Jam malam Israel yang dikenakan semenjak akhir September tahun lalu telah menutup sekolah-sekolah, mencegah para petani zaitun memanen tanamannya, membunuh pedagang, wisatawan, dan merugikan 120.000 pekerja yang bekerja di Israel.65

Pemukim Radikal Melakukan Terornya Sendiri

Para pemukim radikal Israel selalu menjadi salah satu pemain terpenting dalam kebijakan menteror dan menindas orang-orang Palestina.

Perpindahan orang-orang Yahudi ke Palestina, yang dimulai pada akhir Perang Dunia I, mengakibatkan orang-orang Palestina terusir dari tanahnya sehingga tanah-tanah tersebut dapat digunakan untuk mendirikan pemukiman Yahudi. Pemerintah Israel kemudian menggunakan pemukiman ini untuk memperluas pendudukannya atas wilayah Palestina.

Kebijakan ini tetap tak terjamah saat ini. Misalnya, semenjak Kesepakatan Oslo 1993, jumlah pemukiman di Daerah Pendudukan telah meningkat sebesar 50 persen. Lebih jauh, Israel menganggarkan jutaan dollar setiap tahun untuk membangunnya.. Menurut pernyataan yang dibuat pada November 2000, pemerintah Israel memutuskan untuk mengalokasikan $500 juta untuk memperluas pemukiman di Daerah Pendudukan pada tahun 2001.66

Pemukiman-pemukiman yang tengah kita bicarakan ini menjadi ancaman tak terperikan bagi orang-orang Palestina karena beberapa hal. Di samping menjadi hambatan bagi harapan orang-orang Palestina untuk kembali ke rumah mereka, para pemukim juga mengancam mereka dengan perilaku membabi buta. Tentara Israel dan pemukim yang militan, kenyataannya menjadi mitra satu sama lain dalam menyerang orang-orang Palestina. Dalam artikel “Exposing Israel: A Nation of Colonialists” dalam jurnal Amerika The Palestine Chronicle, ahli Timur Tengah Ramzy Baroud menggambarkan kerja sama ini:

Salahnya, banyak yang mengada-adakan perbedaan antara tentara Israel dan pemukim Israel, seolah keduanya bukan dua sisi di satu uang logam. Sering disaksikan bahwa bahkan kelompok hak asasi manusia yang berniat baik pun anehnya menyebut tentara Israel melindungi penduduk Palestina dari serangan para pemukim, meski kenyataannya pemukim Israel dan tentara Israel keduanya adalah bagian dari strategi penyerangan Israel yang ditujukan untuk memperkuat cengkeraman negara Yahudi atas Daerah Pendudukan.67

Satu contoh yang tepat tentang pemukim yang tinggal di sekitar 200 pemukiman ini ditampilkan oleh Kach, organisasi teroris radikal yang tak berperikemanusiaan. (Organisasi Kach, yang didirikan oleh Rabbi Meir Kahane, dikenal sebagai kegiatan teroris ketika pembantaian al-Khalil 1994 dan pengeboman Mesjid al-Aqsa.) Anggota Kach diketahui melakukan serangan bersenjata atas kamp-kamp pengungsian dengan bantuan dan sokongan tentara, dan selama itu mereka membunuh orang-orang tak bersalah dan merusak rumah-rumah mereka serta tempat-tempat ibadah. Dalam artikelnya, Baroud menggambarkan serangan ini:

Cukup dengarkan berita, yang hampir tidak pernah menyebutkan kerjasama antara satuan tentara Israel dengan para pemukim. “Tentara-tentara Israel membunuhi para demontran Palestina, pemukim Yahudi menembaki penduduk desa…,” “Tentara Israel menutup kamp pengungsi, para pemukim memblokir jalan utama yang menuju ke sana…,” “Para tentara mengumumkan daerah militer di tanah Palestina, para pemukim menyerbu untuk memperluas sebuah pemukiman…,” “Para tentara mencegah petani-petani Palestina pergi ke lahan yang akan dipanen, para pemukim membunuh seorang petani sewaktu memanen pohon zaitunnya…"68

Serangan yang dilakukan oleh para pemukim dan tentara sewaktu Intifadah al-Aqsa dimulai juga dilaporkan dalam media Turki. Misalnya, Yeni Safak melaporkan pada 10 Oktober 2000 bahwa,

Para pemukim dari kota Israel di daerah Utara Nazareth, dengan dukungan tentara, bersama-sama secara tiba-tiba menyerang wilayah yang didiami oleh orang-orang Islam. Dilaporkan bahwa dua orang Palestina tewas dan ratusan terluka dalam serangan tersebut… Para saksi mata melaporkan bahwa lebih dari seribu orang Israel bergerak menuju desa-desa Arab, menghujani rumah-rumahnya dengan batu dan menyerang beberapa orang Arab dengan senjata. Juga dilaporkan bahwa polisi Israel memberi dukungan serangan itu dengan letusan senjata di seluruh daerah itu.


Seorang pria Palestina yang menutup tokonya di Yerusalem dan terusir dalam tahun 1948 kembali di tahun 1967 menemukan bahwa sebuah toko Israel telah menempati tempatnya dulu.
Banyak rakyat Palestina menghadapi keadaan yang sama.

Kejadian yang sering berulang-ulang ini kadang-kadang terungkap oleh media internasional. Sebuah artikel yang muncul dalam The Washington Report on Middle East Affairs, salah satu dari beberapa majalah Amerika yang tidak ikut-ikutan kebijakan pro-Israel, seorang Islam yang menyaksikan salah satu serangan ini memberikan kesaksian langsung tentang apa yang ia lihat. Samah Jabr melukiskan kehidupan dalam pengepungan di perbatasan Yerusalem:

Semenjak intifadah al-Aqsa dimulai, saya tidak dapat meninggalkan rumah di malam hari dan kadang-kadang kami tidak bisa keluar di siang hari juga. Meskipun salah satu dari kami sakit karena kekerasan, kami tidak bisa pergi ke dokter atau pergi ke rumah sakit. Jika kami perlu susu di toko, waduh! Perlu menunggu.69

Diperingatkan oleh teriakan seorang tetangga bahwa "para pemukim Israel menyerang!" sewaktu ia tengah duduk-duduk di rumah dengan keluarganya, Jabr melukiskan peristiwa mengerikan itu:

Sebagian besar pemukim yang tinggal tak sah di tanah Palestina percaya bahwa adalah kewajiban agama untuk menyatukan kembali Tanah Suci dalam tangan mereka, Orang-orang yang Dipilih Tuhan. Lainnya, para pengikut Rabbi Meir Kahane percaya bahwa mereka harus merebut Haram asy-Syarif, dan mendirikan kembali sinagog Yahudi… Neve Yaqoup adalah pemukiman God’s People yang terdekat dari rumah kami.

Malam ketika serangan itu terjadi gelap tanpa bayangan, tapi kami mengintip dari jendela-jendela kami untuk mencoba melihat ke kegelapan. Kami hanya bisa mendengarkan teriakan dan tembakan… Dari mesjid terdekat, kami mendengar suara melalui pengeras suara… Orang Arab Palestina yang menyerukan melalui pengeras suara itu memberi tahu kami agar mengumpulkan batu dan beling untuk mempertahankan diri dan untuk tetap berada di rumah tanpa lampu. Di luar rumah kami, kami mendengar suara berisik anak-anak mengumpulkan batu… Anak-anaklah yang sebenarnya telah membersihkan daerah ini… Para pemukim tidak pernah datang di siang hari. Seperti rubah di luar kandang, mereka menyusup di malam hari. Mereka bersenjata lengkap, dan sering ditemani tentara Israel… Meskipun jarang mereka benar-benar membunuh kami, mereka punya kebiasaan merusak hak milik dan menteror anak-anak kami… Sewaktu tembakan dan teriakan semakin dekat ke rumah kami, lampu-lampu jalanan dipadamkan. Dalam kegelapan, kami duduk di lantai sekitar empat jam… Akhirnya, kami mendengar salah satu tetangga Kristen kami yang berteriak. “Tolong!” ia menjerit. “Pemukim Yahudi di mesjid membawa api.” Lalu, ia mulai meneriakkan doa Islam, “Allahu Akbar,” Allah Maha Besar.70



Tentara Israel tidak melakukan sendiri penyiksaan atas warga Palestina. Pemukim Yahudi menyerang rakyat Palestina, menyerbu rumah-rumah mereka, dan melakukan berbagai jenis pelecehan. Ketika datang pada orang Palestina, setiap pemukim bertindak seolah mereka adalah tentara Israel.


Kejadian seperti ini yang telah Anda baca di atas, dan bahkan banyak lagi kekerasan lainnya, sering muncul di media-media negara-negara Islam, di Internet, dan di beberapa sumber media barat yang meliput kejadian di Timur Tengah secara objektif. Dan kejadian ini telah menjadi bagian hidup sehari-hari orang-orang Palestina selama lebih dari 50 tahun. Seperti digambarkan dalam contoh-contoh di atas, para pemukim yang melakukan serangan ini melakukannya dengan bantuan militer Israel. Dalam salah satu artikelnya, wartawan Israel Amnon Denkner menggambarkan teror yang dilakukan para pemukin dengan bantuan tentara:

Harian Turki YENI MESAJ, 7 Juni 2001
YAHUDI MENYERANG SEBUAH DESA PALESTINA



Harian Turki YENI MESAJ, 15 Juli 2001
SHARON MENOLAK MENYERAH DALAM PERSOALAN PEMUKIMAN YAHUDI



Harian Turki YENI MESAJ, 21 Juli 2001



W. REPORT, OKT.-NOV.1997


Pemukim Yahudi di tanah, rumah, dan lahan pertanian Palestina sering menyerang desa-desa Palestina dan membunuh orang-orang tak bersalah. Mereka bukan tentara, melainkan warga sipil Yahudi yang dipersenjatai oleh pemerintah Israel. Berita di atas oleh Harian Turki Yeni Mesaj mengatakan: “Diperkuat oleh tentara Israel, pemukim Yahudi telah menyerang rakyat Palestina. Di antara tiga orang Palestina yang dibunuh ketika orang-orang Yahudi menembak adalah seorang bayi berusia tiga bulan."

Sederhana saja: seorang Arab yang mencoba menembak seorang Yahudi juga akan mengorbankan hidupnya. Impas. Tapi seorang Yahudi yang mencoba menembak orang Arab tidak akan menerima perlakuan kasar tentara jika mereka mengikuti aturan si tentara. Mereka tidak akan menghalang-halangi mereka atau mencegah mereka membunuh orang Arab, mereka tidak akan menembak di kepalanya atau menembak kakinya, dan pasti tidak akan menembak untuk membunuh kecuali ia melakukan kejahatan yang tak bertanggung jawab.

TAK ADA YANG BERUBAH



Sesungguhnya tak ada yang telah berubah bagi warga Palestina semenjak 1948. Baik perundingan damai atau pun gencatan senjata tidak mencegah serangan brutal tentara Israel.

Dalam kelanjutan artikelnya, Denkner menyatakan bahwa hal itu memerintahkan “ajaklah semua pemukim Yahudi fanatik menembaki orang Arab, dengan menjamin mereka bahwa dalam melakukan tindakan itu tak sehelai rambut dan kepala pun akan disakiti."71



54- Benjamin Beit Hallahmi, The Israeli Connection:Who Israel Arms and Why, (New York:Pantheon Books, 1986), hlm. 239, tanda penegasan ditambahkan.
55- Yasmine Subhi Ali, "It Is Always Eid in Palestine." (http://www.alhewar.com/EidInPalestine.htm) tanda penegasan ditambahkan
56- Mouna Hamzeh-Muhaisen, "Israël-Palestine, La Déchirure, Jours Ordinaires Dans Le Camp De Dheisheh," Le Monde Diplomatique, November 2000.
57- Ian Gilmour, "Israel's Terrorists," The Nation, 21 April 1997, emphasis added.
58- Sascha D. Freudenheim, 21 Maret 2001, "Report on a Speech by Ariel Sharon 21 Maret 2001, 5:30 p.m., Sheraton New York Ballroom," http://www.sascha.com/ArielSharon_1.html.
59- Graham Usher, "Everyday Acts of Resistance," Al-Ahram Weekly On-Line, 29 Maret- 4 April 2001, tanda penegasan ditambahkan.
60- Gideon Levy, "Women in Black," Ha'aretz English Edition, Januari, 12, 2001.
61- Alain Gresh, "Intifada Pour Une Vraie Paix," Le Monde Diplomatique, Desember 2000.
62- Alain Gresh, "Intifada Pour Une Vraie Paix," Le Monde Diplomatique, Desember 2000.
63- Eitan Felner, "En Afrique du Sud, On appelait cela l'Apartheid," Le Monde Diplomatique, November 1999.
64- Yeni Safak, Turkish Daily, 19 Desember 1999, tanda penegasan ditambahkan.
65- Bashir Khanbhai, "Death in Palestine," European Parliament Review, www.bashirkhanbhai.co.uk.
66- Report on Israeli Settlement in the Occupied Territories, Washington, September - October 2000.
67- Ramzy Baroud, "Exposing Israel: A Nation of Colonialists," The Palestine Chronicle Online, www.palestinechronicle.com, tanda penegasan ditambahkan.
68- Ramzy Baroud, "Exposing Israel: A Nation of Colonialists," The Palestine Chronicle Online, www.palestinechronicle.com.
69- Samah Jabr and Betsy Mayfield, "On the Ground:the Al-Aqsa Intifada - On Living and LettingLive," The Washington Report on Middle East Affairs, Desember 2000, hlm. 9-10.
70- Samah Jabr and Betsy Mayfield, "On the Ground:the Al-Aqsa Intifada - On Living and LettingLive," The Washington Report on Middle East Affairs, Desember 2000, hlm. 9-10, tanda penegasan ditambahkan.
71- Amnon Denkner, Ha'aretz, Januari 9, 1994, tanda penegasan ditambahkan.

0 komentar:

Posting Komentar